Jakarta, Aktual.com – Kinerja PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) terus menunjukkan performa yang mengkhawatirkan, mengingat utang-utang BUMN listrik ini terus menumpuk.
Padahal, kinerja PLN sendiri di tahun ini sudah menaikan tarif dasar listrik (TDL) atau mencabut subsidi terutama untuk golongan 900 volt ampere (VA), mestinya kebijakan berutangnya tak terlalu tinggi.
“Tapi anehnya, semua kebijakan terus dilakukan, agar bisa punya kemampuan untuk berhutang. Seperti melakukan revaluasi aset. Itu dilakukan hanya untuk memperlebar ruang berhutang PLN,” tandas pengamat ekonomi politik dari AEPI (Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia), Salamuddin Daeng kepada Aktual.com, Sabtu (10/6).
Menurut Daeng, dengan melakukan revaluasi aset, aset PLN memang memabangkak nilainya jadi Rp1.250 triliun. Tapi kebijakan itu hanya untuk mempermudah perseroan untuk berhutang saja. Makanya pihak PLN selalu berdalih rasio utangnya atau debt to equity ratio (DER)-nya selalu diklaim masih aman.
“Padahal dari sisi capaian laba PLN, mereka tidak mungkin membayar utang raksasa yang diderita PLN itu. Bahkan yang ada, cepat atau lambat PLN akan habis dijarah asing dan taipan. Dan menjadi milik asing,” keluh Daeng.
Dari catatannya, total utang PLN telah mencapai Rp500,175 triliun. Belum termasuk rencana utang terbaru PLN yang bakal menerbitkan surat utang (obligasi dan sukuk) senilai Rp10 triliun.
“Ini merupakan perusahaan dengan rekor tertinggi dalam mengambil utang. Total utang PLN sebelum revaluasi asset itu telah lebih dari 100% dari total asetnya,” kata dia.
Pertanyaannya, kata dia, sampai kapan perusahaan ini dapat membayar utangnya? Meskipun seluruh keuntungan perseroan untuk bayar utang maka dalam tempo 50 tahun belum tentu akan lunas.
Makanya, itulah mengapa harga listrik terus digenjot naik tanpa memikirkan daya beli masyarakat. “Bahkan kenaikan listrik sendiri telah mengesampingkan kondisi penurunan harga batubara, gas dan minyak yang merupakan unsur biaya terbesar dalam PLN selama ini,” pungkas dia.
(Busthomi)
Artikel ini ditulis oleh:
Arbie Marwan