Ketua Umum Dewan Pengurus Nasional Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI) Zudan Arif Fadullah (keempat kanan) memaparkan hasil pertemuan dengan Presiden Joko Widodo membahas peningkatan kualitas pegawai negeri sipil (PNS), di Kantor Presiden, Jakarta, Kamis (9/6). Dalam pertemuan tersebut Presiden berharap Korpri dan seluruh ASN (aparatur sipil negara) merubah pola pikir, dan mengubah paradigma jika saat ini sedang terjadi persaingan yang ketat antar ASN sendiri , maupun persaingan ASN dengan dengan dunia luar seperti MEA (masyarakat ekonomi Asean). ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma/foc/16.

Jakarta, Aktual.com – PNS rawan dikriminalisasi dalam melakukan tugas jabatannya. Kriminalisasi kebijakan dinilai merupakan puncak gunung es lemahnya fungsi pengawasan, koordinasi, dan supervisi dalam sistem birokrasi pemerintah.

Itu sebabnya, pada pertemuan Presiden Joko Widodo dengan para petinggi institusi penegak hukum beserta semua gubernur di Bogor, beberapa waktu lalu, berkenaan dengan rendahnya penyerapan anggaran yang dapat mengakibatkan roda pemerintahan macet, Presiden Jokowi berpesan tiga hal.

Pertama, kebijakan jangan dikriminalisasi. Kedua, pelanggaran administrasi agar diselesaikan secara administratif.

Ketiga, aparat penegak hukum agar menghormati jangka waktu penyelesaian selama 60 hari sejak tanggal rekomendasi BPK atau BPKP akibat temuan potensi penyimpangan penggunaan anggaran.

Selanjutnya, Presiden mengeluarkan Inpres No. 1 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Strategis Nasional untuk mencegah kriminalisasi kebijakan.

Nah, bagi anggota yang tersandung masalah hukum atau dituding melanggar sistem dalam melaksanakan tugas, Korpri tergerak untuk mendirikan Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) di setiap daerah.

Konsep LKBH bukan cuma menyediakan jasa hukum, tapi juga melakukan advokasi dan menyosialisasikan pencegahan tindak pidana korupsi.

Khusus soal perlindungan hukum, hanya diberikan kepada anggota Korpri yang dikriminalisasi dan menjadi korban karena sistem ketika menjalankan tugas jabatan. Jadi, tidak semua perkara menjadi objek pembelaan. Termasuk kepada oknum PNS yang tertangkap tangan melakukan tindak pidana korupsi dan yang terlibat tindak pidana narkoba.

Korpri tetap berpijak pada regulasi UU Tindak Pidana Korupsi, yakni apabila penyelenggara negara termasuk PNS menyimpang dan jelas-jelas ada mens rea (niat jahat), maka oknum tersebut memang layak ditindak. Misalnya melakukan kegiatan yang fiktif.

“Jadi kalau ada PNS yang ditunjuk misalnya sebagai Kuasa Pengguna Anggaran atau Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) proyek pengadaan dan konstruksi, tapi kemudian dikriminalisasi padahal yang bersangkutan berada dalam koridor aturan yang berlaku, di situlah LKBH Korpri hadir membela,” kata Ketua Umum Dewan Pengurus Korpri Nasional, Zudan Arif Fakrulloh dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Selasa (11/10).

Zudan mengusulkan pemerintah perlu mengefektifkan fungsi procurement agent dari kalangan profesional untuk membantu fungsi pejabat PPK di lingkungan pemerintahan serta seluruh penyelenggara pemerintahan mengoptimalkan fungsi aparat pengawas internal pemerintahan (APIP) sebagaimana Pasal 385 UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemda. APIP dan aparat penegak hukum wajib berkoordinasi untuk menilai kesalahan yang terjadi dalam pengelolaan keuangan.

Pasalnya, selama ini PPK memang sering takut terkriminalisasi oleh berbagai dugaan penyalahgunaan wewenang. Akibatnya, pelaksanaan proyek infrastruktur kerap tertunda dan berujung pada perlambatan penyerapan anggaran belanja modal.

Maka, kata Zudan, kalau PNS mau mendapat proteksi hukum dari LKBH Korpri, prasyaratnya jelas, yakni selama tidak ada mens rea (niat jahat), tidak melakukan kegiatan fiktif, atau tidak menerima gratifikasi atau tertangkap tangan korupsi.

“PNS profesional sebetulnya tidak perlu waswas dikriminalisasi dalam melakukan tugas jabatan. Kalau prasyaratnya tadi dipenuhi PNS tersebut tak perlu takut melaksanakan tugas yang diembankan dalam percepatan pembangunan,” tegas Zudan Arif.

Sebab, katanya melanjutkan, sejak lahirnya UU Aparatur Sipil Negara Nomor 5 Tahun 2014, dan UU Nomor 23 Tahun 2013 tentang Pemda serta UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, negara betul-betul memproteksi PNS yang bekerja dengan penuh tanggung jawab.

Oleh karenanya, Zudan mendorong setiap daerah untuk membuka LKBH Korpri yang ditargetkan selama dua tahun ke depan bisa tersedia di tiap wilayah provinsi maupun kabupaten/kota.

“Korpri menginstruksikan semua provinsi dan kabupaten/kota harus membuka unit LKBH sehingga anggota Korpri yang punya masalah hukum baik Tata Usaha Negara, perdata, pidana semua bisa meminta bantuan hukum. Target dua tahun ke depan semua sudah punya LKBH,” tuturnya.

Diakui Zudan, meski diinstruksikan untuk membuat LKBH, namun kenyataannya di lapangan belum mencapai keseluruhan wilayah. Karena itu dirinya melakukan pemantauan langsung ke tiap daerah untuk memberikan dorongan agar secepatnya mendirikan LKBH untuk ASN yang tergabung dalam Korpri.

“Mendirikan LKBH pendanaannya bisa diambil dari anggaran belanja daerah masing-masing. Kami terus dorong Korpri tiap wilayah untuk secepatnya mendirikan LKBH agar keberadaan Korpri bisa memberi kontribusi dan manfaat, sebab induk organisasi ini harus melindungi anggotanya. Yang penting jika anggota kita ada masalah hukum kita tidak boleh membiarkannya sendirian,” katanya.

Untuk diketahui, di dalam UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN dalam Pasal 21 dan 22 menegaskan bahwa bahwa PNS dan P3K berhak memperoleh perlindungan. Sedangkan Pasal 92 dan 106 menegaskan bahwa pemerintah wajib memberikan perlindungan berupa bantuan hukum.

Adapun di dalam Pasal 126 menegaskan, bahwa organisasi Korps Profesi ASN memiliki fungsi memberikan perlindungan hukum dan advokasi kepada anggota ASN yang menghadapi permasalahan hukum. Sehingga sudah pasti LKBH mesti ada di semua tingkatan kepengurusan Korpri.

Artikel ini ditulis oleh:

Eka