Jakarta, Aktual.com- Sekretaris Jenderal Lembaga Persahabatan Ormas Islam (Sekjen LPOI) Denny Sanusi mengingatkan adanya bahaya fanatisme ekstrem agama yang dapat memecah belah masyarakat.
“Fanatik kepada agama pada dasarnya fine (biasa) saja. Memang kita harus fanatik dengan cermat, karena ketika fanatik itu mulai menyalahkan orang lain yang berbeda agama atau keyakinan dan mulai berlaku ekstrem, itu yang tidak boleh,” ujar Denny Sanusi di Jakarta dalam keterangan tertulis seperti dilansir dari Antara, Sabtu (24/9).
Menurutnya fanatisme ekstrem justru hanya membawa kemudaratan bagi umat, karena dapat memicu timbulnya sikap merasa paling benar, ingin menang sendiri bahkan prasangka-prasangka buruk antar masyarakat dan umat beragama.
Lebih lanjut dia juga menyoroti maraknya institusi pendidikan bahkan rumah ibadah yang kini mulai menunjukkan gerak-gerik adanya praktik intoleransi di dalamnya. Yang ia khawatirkan hal tersebut justru akan semakin memperburuk keadaan masyarakat yang kini mulai terpecah belah.
“Saya mendapati dari penelitian, bahwa beberapa institusi pendidikan bahkan rumah ibadah sudah tidak lagi menjalankan rukun dakwah sebagaimana mestinya. Rukun dakwah itu sudah tidak dipakai lagi,” ucap pria yang pernah menjabat sebagai Ketua Dewan Pimpinan Pusat Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (DPP PITI) itu.
Apalagi, saat ini ia melihat banyaknya masyarakat yang terjerumus pada radikalisme yang diakibatkan oleh keliru dalam memilih majelis dan guru-guru agama. Sehingga ia mengingatkan kepada masyarakat untuk senantiasa cermat dalam memilih institusi pendidikan, majelis dan ulama.
“LPOI terus mengimbau untuk hati-hati karena jangan sampai kita salah guru yang akhirnya menjerumuskan kita menjadi intoleran, harus cermat dan teliti jangan sampai terlanjur terjebak nantinya,” ujarnya.
Ia mengatakan, masyarakat harus tahu akar, silsilah, bahkan historis dari ‘tempat belajar’ yang akan mereka timba ilmunya. Sikap cermat dan teliti dalam memilih tersebut niscaya akan menghindarkan diri dari doktrin radikal dan intoleransi.
“Sebenarnya ada faktor utama yang menyebabkan seseorang mudah terjerumus dalam radikal dan intoleransi yaitu rendahnya wawasan atau kebodohan,” ucap pria yang juga menjabat sebagai Sekjen Lembaga Persahabatan Ormas Keagamaan (LPOK) ini.
Ia melanjutkan, kurangnya wawasan akan membuat seseorang mudah sekali didoktrinasi, sebagaimana ia memercayai bahwa kebodohan adalah pangkal dari segala sesuatu yang negatif. Maka dari itu di sinilah peran ormas agama untuk ikut membantu memberi pemahaman agar masyarakat tidak mudah dijerumuskan.
“Saya merasa sangat penting sekali dengan ormas keagamaan bisa bermitra dengan BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme), karena ormas ini dapat memberikan pengertian bagaimana cara beragama yang baik, inilah fungsi ormas untuk bisa menyentuh hingga ke bawah,” ungkap Pendiri Yayasan Pembinaan Muallaf AMOI ( Aku Menjadi Orang Islam) itu.
Dikatakan Denny, LPOI dan LPOK sebagai Lembaga yang bermitra dengan BNPT juga ikut berupaya dalam menangani fenomena radikalisme dan intoleransi, salah satunya melalui memorandum of understanding (MoU) dengan beberapa pemangku kepentingan dalam hal pemberdayaan mantan napiter (narapidana terorisme) yang baru bebas. Salah satunya dengan program pelatihan, pemberian modal usaha, dan pembekalan pada tahap reintegrasi sosial.
“Bahwasanya radikalisme ada pekerjaan rumah yang harus diberikan solusi pemecahannya, dan hal ini harus mendapat perhatian serius baik dari pemerintah dengan mengerahkan seluruh lapisan masyarakat termasuk ormas,” ujarnya.
Untuk itu Denny juga berpesan kepada pemerintah khususnya untuk terus meningkatkan perannya melalui program-program yang berkualitas dan berkelanjutan untuk menunjukkan keseriusan pemerintah dalam mencegah radikalisme dan intoleran agar tidak berlarut-larut dan kian membesar nantinya.
”Langkah pemerintah saat ini dengan menggandeng tokoh agama dan tokoh masyarakat sangatlah tepat. Namun memang hal ini perlu untuk terus ditingkatkan misalnya dengan memberikan penguatan wawasan para tokoh-tokoh agama dan masyarakat, sosialisasi yang gencar menyasar hingga ke bawah serta pembuatan kurikulum,” ujarnya.
Artikel ini ditulis oleh:
Arie Saputra