Jakarta, Aktual.co — Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) akan mengatur skema penjaminan simpanan untuk perbankan syariah pada 2015, karena selama ini skema yang digunakan masih mengacu pada prinsip perbankan konvensional.

“Pada 2015, skemanya akan kita perkuat untuk perbankan syariah, karena selama ini masih mengikuti tingkat penjaminan LPS yang umum,” kata Kepala Eksekutif LPS Kartika Wirjoatmodjo di Jakarta, Jumat (21/11).

Skema penjaminan itu, menurut Kartika, akan diklasifikasikan berdasarkan produk perbankan syariah dan prinsip-prinsip sesuai fatwa syariah dari Dewan Syariah Nasional (DSN).

Isu yang penting diperhatikan di antaranya bagaimana penerapan prinsip mudharabah, wadiah, dan lainnya dalam produk simpanan.

“Itu kan berbeda nanti skemanya per produk. Kita ingin cari konsep yang pas,” ujar dia.

Wadiah dalam prinsip syariah merupakan titipan yang wajib dikembalikan. Sedangkan Mudaharabah, menurut pemaparan LPS, merupakan simpanan yang dijamin oleh pihak ketiga hanya ketika bank tersebut dicabut izin usahanya.

Kartika menjelaskan, pada tahap awal LPS akan mempersiapkan peraturan LPS dan fatwa DSN. Kemudian, pemisahan investasi penjaminan syariah, dan pelaporan penjaminan syariah.

Dalam pembentukan skema penjaminan, LPS juga akan mengkaji penentuan akad penjaminan simpanan, penentuan produk simpanan, batasan penjaminan, dan penentuan persentase premi penjaminan.

“Tapi besaran batasannya belum ditentukan saat ini,” kata dia.

Setelah 2015, ujar Kartika, LPS juga akan memisahkan pembayaran premi penjaminan syariah, penerapan pengawasan perbankan syariah sesuai kriteria risiko syariah.

Pada 2017, LPS juga akan mengkaji penerapan metode likuidasi bank syariah. Sedangkan pada 2019, LPS mengharapkan protokol manajemen krisis penjaminan syariah sudah diterapakan secara komprehensif. LPS juga akan memitigasi “Moral Hazard” penjaminan syariah.

“Kita juga akan gunakan ‘benchmark’ dari negara-negara lain,” ujarnya.

Negara-negara lain itu seperti Malaysia, yang sudah menerapkan akad Kafalah bil Ujrah. Selain itu di Sudan, dan Jordania, juga menggunakan akad Takaful.

Akad yang diusulkan diterapkan di Indonesia adalah ‘Dharibah bil Kafalah’.

Akad tersebut, menurut Kartika, dapat diadopsi langsung dalam sistem penjaminan simpnan yang saat ini berlaku. Kemudian, akad itu juga tidak bertentangan dengan prinsip syariah karena merupakan otoritas pemerintah demi mencapai kebaikan.

Selanjutnya, ujar Kartika, akad itu juga menggambarkan hubungan antara pemerintah dan entitas bisnis di masyarakat, dibandingkan dua akad lainnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Eka