Meski begitu, LPSK melihat hadirnya PP 43/2017 ini tidak menjadi tumpang tindih, melainkan justru memperkuat upaya bagi anak yang menjadi korban tindak pidana untuk mendapatkan haknya.
“Pastinya ada beberapa hal spesifik terkait anak yang belum diatur aturan eksisting, namun dengan adanya PP 43/2017 ini kekurangan-kekurangan pada aturan sebelumnya bisa tertutupi,” imbuhnya.
Kepala Biro Hukum dan Humas Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) Hasan, menjelaskan bahwa PP 43/2017 sangat diperlukan karena mengatur prosedur bagaimana anak yang menjadi korban untuk mendapatkan restitusi.
Restitusi selain penting untuk mengurangi beban korban atas derita yang dialaminya, juga menjadi bentuk tanggungjawab dari pelaku atas perbuatannya kepada korban. Dalam PP ini dijelaskan pula siapa yang berhak mengajukan permohonan restitusi termasuk mekanisme anak untuk mendapatkan restitusi .
Selain itu PP ini juga menjelaskan pentingnya peran LPSK dalam upaya mendapatkan restitusi. “Karena bersama penyidik, LPSK akan menentukan besaran restitusi untuk disampaikan kepada penuntut umum”, ujar Hasan.
Ketua Unit Satgas Tindak Pidana Terorisme dan Tindak Pidana Lintas Negara Kejaksaan RI, Nana Riana, menyambut baik terbitnya PP 43/2017.
Hal ini dikarenakan sebelumnya jaksa seringkali kesulitan menuntut restitusi jika ada anak yang menjadi korban, hal ini dikarenakan UU Perlindungan Anak belum secara jelas mengatur soal restitusi.
Karena tidak rinci maka jaksa seringkali kesulitan memasukan ke dalam tuntutan, akibatnya hakim seringkali tidak mempertimbangkan restitusi ke dalam amar putusannya.
Artikel ini ditulis oleh:
Eka