Jakarta, aktual.com – Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Dr.iur. Antonius P.S. Wibowo menyatakan prihatin dengan masih adanya praktik perdagangan bayi di Tanah Air.
“Bayi sebagai korban dari tindak pidana tersebut, tentunya sangat rentan terhadap bahaya lain yang dapat menimpa dirinya, misalnya telantar dan salah asuh,” kata Antonius di Jakarta, Kamis (23/1).
Dalam kesempatan ini, Antonius juga memberikan apresiasi atas keberhasilan Polrestabes Palembang dalam menangkap sindikat pelaku praktik perdagangan bayi dan mengajak semua pihak terkait untuk bersama-sama mengatasi kejahatan/tindak pidana tersebut.
Sebagai lembaga mandiri yang menerima mandat dari Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 dan UU No. 13/2006 untuk melindungi saksi dan korban, termasuk korban perdagangan bayi, Antonius merasa sangat prihatin dengan masih adanya praktik perdagangan bayi di Tanah Air.
Sebagai bayi yang masih berusia sangat belia, yaitu berumur mingguan, bahkan harian, tentu saja bayi tersebut tidak dapat berbuat apa-apa dan sangat tergantung pada perlindungan dan pengasuhan orang dewasa, katanya.
Perdagangan bayi sebagai salah satu wujud dari TPPO (tindak pidana perdagangan orang) adalah dilarang oleh hukum.
Antonius menegaskan Pasal 76 F dan Pasal 83 UU No. 35/2014 tentang Perlindungan Anak mengancam pelaku perdagangan bayi dengan hukuman penjara maksimal 15 tahun dan denda maksimal Rp300 juta.
Dia juga menjelaskan bahwa perdagangan bayi juga dapat dihukum berdasarkan UU No. 21/2007 tentang Pemberantasan TPPO. Menurut pasal 5 dan 6 UU No. 21/2007, perdagangan bayi diancam dengan hukuman penjara maksimal 15 tahun dan denda maksimal Rp600 juta.
Pada tahun 2019, LPSK telah melindungi 318 orang terlindung perkara TPPO. Jumlah ini meningkat sekitar 70 persen dari data pada tahun 2018 sejumlah 186 terlindung/orang.
Antonius memerinci berdasarkan jenis kelamin, yakni 110 pria dan 208 wanita. Di antara jumlah tersebut, terdapat 52 anak wanita dan empat anak laki-laki.
Apabila dilihat berdasarkan wilayah asal korban, Provinsi Jawa Barat menempati posisi teratas berjumlah 68 terlindung, disusul kemudian NTT 36 terlindung. Terdapat juga terlindung korban TPPO dari Provinsi Kalimantan Barat yang pada umumnya berasal dari kasus “Penganten Pesanan”.
Jumlah riil perkara TPPO yang terjadi di tengah masyarakat, termasuk perdagangan bayi, menurut dia, tentu saja dapat lebih besar daripada yang tercatat di kepolisian dan LPSK, mengingat masih adanya beberapa kendala untuk melaporkan kasus TPPO ke instansi terkait, misalnya karena rasa malu diketahui oleh publik, wilayah geografi yang sulit dan sebagainya.
Oleh karena itu, Antonius mengajak segenap komponen masyarakat untuk bekerja sama menangani kasus TPPO, termasuk perdagangan bayi.
Bentuk partisipasi minimalnya adalah melaporkan kasus ke kepolisian terdekat dan/atau lapor ke instansi terkait lainnya, misalnya P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak), Gugus Tugas Anti Trafficking, Dinas Sosial, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dan sebagainya. Anggota masyarakaat dapat pula menghubungi LPSK melalui call center 148.
Antonius juga mengajak instansi terkait untuk berkerja sama dengan LPSK dalam menangani korban TPPO. Pasal 57 UU No. 21/2007 mengamanatkan Pemerintah dan pemerintah daerah wajib membuat kebijakan, program, kegiatan, dan mengalokasikan anggaran untuk melaksanakan pencegahan dan penanganan masalah perdagangan orang.
Demikian juga, Pasal 71E UU No. 35/2014 mengamanatkan Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab menyediakan dana penyelenggaraan perlindungan anak.
Antonius mengajak pemerintah daerah untuk meningkatkan kerja samanya dengan LPSK, antara lain dalam penyediaan layanan bagi korban TPPO, yaitu penyediaan selter/rumah aman, layanan medis, psikologis, dan psikososial, termasuk membantu akses korban pada lapangan pekerjaan, tempat tinggal, dan sebagainya.
Antonius menginfokan bahwa pada tahun 2019 LPSK telah memberikan 9.308 jenis layanan kepada 3.365 orang terlindung LPSK, termasuk kasus TPPO, di dalamnya terdapat 1.755 layanan bantuan medis, 291 layanan bantuan psikososial, dan 578 layanan bantuan psikologis.
Dengan bekerja sama dengan pemerintah daerah, Antonius yakin kasus TPPO dapat ditangani secara lebih baik.
“Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing,” kata Antonius.
Artikel ini ditulis oleh:
Eko Priyanto