Ketiga adalah tempat penahanan Henry Surya yang dipindahkan dari Rutan Salemba ke Rutan Kejaksaan Agung. “Untuk apa penahanan dipindahkan dari rutan ke Kejaksaan Agung? Tentunya ada sebagian masyarakat menduga agar memudahkan koordinasi dari Henry Surya, apakah masuk angin kejaksaan?” tanyanya.

Keempat adalah aset sitaan hasil kejahatan yang tidak dikembalikan kepara korban. Hakim yang menolak semua permohonan ganti rugi aset sitaan. “Ini sangat janggal, jika aset kejahatan ditolak untuk dikembalikan ke para korban. Pengajuan ganti rugi dari beberapa lawfirm termasuk Febri Diansyah dari visi Lawfirm senilai Rp 1.8 triliun dan pengajuan LPSK semua ditolak hakim. Ini kesewenangan hakim yang dipertontonkan dimuka umum,” ucapnya.

Kelima adalah adanya dugaan sandiwara dimana jaksa seolah-olah memihak korban dan hakim menolak hak korban. “Strategi disebut “good cops dan bad cops” adalah hal biasa sandiwara dimainkan oleh oknum mafia hukum, agar terlihat sidang berjalan sebagaimana mestinya ada konflik, padahal hasil akhir sudah dijual belikan. Ini modus biasa dalam persidangan yang sudah dikondisikan.

“Jangan percaya pada oknum jaksa yang pura-pura baik, karena jika sudah terjadi jual beli kasus, jalan masuk untuk menyuap hakim sering kali melalui oknum Jaksa. Ingat sebelumnya oknum Jaksa dalam kasus Indosurya membuat modus P19 mati. Juga oknum jaksa yang pura-pura marah kepada hakim karena tidak diijinkan sidang offline. Jika benar-benar memperjuangkan, seharusnya pihak kejaksaan membuat aduan resmi ke KY atau Bawas MA tentang tindakan hakim, bukan cuma bacot murahan,” paparnya.

Keenam adalah pengusiran korban yang menyampaikan aspirasi. Ini sangat tidak patut dan sudah melanggar kode etik hakim. “Hakim tidak bisa membedakan antara menyampaikan aspirasi pihak terkait dengan menganggu jalannya persidangan. Sebagai korban, mereka adalah pihak berkepentingan, yang patut didengarkan suara dan keterangannya dipersidangan bukan malah diusir dan dibilang mengganggu jalannya sidang,” kata Sepviant.

Artikel ini ditulis oleh:

Zaenal Arifin