Ribuan massa yang tergabung dalam Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF MUI) melakukan demonstrasi memadati jalan Medan Merdeka Timur, Jakarta, Jumat (4/11/2016). Ribuan massa ini menuntut penuntasan proses hukum terhadap Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang diduga melakukan penistaan agama menginap di Masjid Istiqlal. AKTUAL/Tino Oktaviano

Jakarta, Aktual.com-Lingkaran Survei Indonesia (LSI) menyebut tren menurunnya elektabilitas calon gubernur incumbent DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) mirip dengan calon presiden Amerika Serikat Hillary Clinton.

Dimana survei Clinton menurun menjelang Pilpres AS 2016, hingga akhirnya dinyatakan kalah melawan pesaingnya yang kini telah dinobatkan sebagai presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Meskipun, Hillary dinilai lebih berpengalaman secara politik karena pernah menjadi ibu negara.

Semula, Ahok dan Trump dipersepsikan sama karena pernyataannya yang kontroversial terkait permasalahan agama. Namun, menurut survei, faktor kesukaan terhadap tokoh ternyata bisa merubah pertimbangan pemilih.

Diketahui, Ahok tengah dikecam jutaan umat Islam lantaran dianggap menistakan agama lewat ucapannya yang menyinggung Surat Al-Maidah 51. Sedangkan, Trump dikecam komunitas islam bahkan kristen karena melarang warga muslim memasuki wilayah AS.

“Fenomena bisa disamakan dengan Clinton. Bukan Trump. Ahok secara kompetensi lebih baik dari yang lain. Kepuasaan masyarakat juga tinggi, sama dengan Clinton yang punya kapasitas dan pengalaman. Tapi di AS, seminggu sebelum hari H, Clinton surveinya turun. Mirip kasus Ahok tren nya juga turun. Tingkat kesukaan Ahok juga seperti clinton. Kesukaannya tadinya tinggi tapi sekarang menurun,” ungkap Peneliti LSI Adjie Alfarabi dalam jumpa pers di Graha Dua Rajawali, Rawamangun, Jakarta Timur, Kamis (10/11).

Bila di Amerika Serikat berdasar anggapan “memilih pemimpin bukan pilih yang baik, tapi suka dan tidak suka”, menurut adjie, di DKI Jakarta pun berlaku hal serupa. Ia menjelaskan, bahwa faktor kesukaan atau ketidaksukaan terhadap seorang figur akan lebih berpengaruh daripada pilihan secara rasional.

Pemilih rasional mendasari pilihannya dengan alasan penilaian terhadap visi misi calon. Sedangkan, pemilih primordial menentukan pilihan berdasarkan kesamaan suku, agama dan lainnya.

“Ada pemilih rasional, ada pula pemilih yang secara psikologis. Di DKI faktor personality berpengaruh pada pemilihan di DKI. Tidak bersedianya memilih gubernur non muslim ternyata naik. Artinya sentimen primordial muncul daripada sentimen rasional,”

“Begitupula Donald Trump. Pemilih kulit putih mayoritas pilih Trump. Perempuan memang pilih Clinton tapi kulit putih pilih Trump apalagi pendidikan dibawah. Artinya sentimen primordial berpengaruh. Berpendikan dan berpenghasilan tinggi secara pemilih rasional masih ke Ahok, tapi diluar itu tidak pilih Ahok,” jelas Adjie.

Menyinggung Pilpres Amerika Serikat, memang mengejutkan bahwa Donald Trump mampu mengalahkan Hillary Clinton, dimana Trump dikenal sebagai tokoh kontroversial terkait singgungannya soal agama, etnis, dan lainnya.

“Ini jadi satu pelajaran penting bahwa perilaku pemilih dinamis dan banyak faktor. Termasuk swing voter” pungkas Adjie.

Seperti diberitakan, Donald Trump terpilih sebagai presiden Amerika Serikat ke-45, dalam pemilihan yang paling ketat sepanjang sejarah negara adikuasa itu.

Trump unggul atas Hillary Clinton lewat serangkaian kemenangan mengejutkan di negara bagian Florida, Ohio, Iowa dan North Carolina, sementara Clinton unggul di Virginia dan Nevada, meski berbulan-bulan polling menunjukkan keunggulan Clinton.

Tanda kemenangan Trump sudah terlihat ketika dia merebut dua negara bagian massa mengambang (swing state atau swing voter), yaitu Ohio dan Florida yang empat tahun lalu memilih calon presiden dari Partai Demokrat, Barack Obama.

*Nailin In Saroh

Artikel ini ditulis oleh: