Namun, lanjut Teguh, perwujudan komitmen itu dinilai masih terseok-seok dalam konteks pelaksanaannya karena ternyata tidak mendapat dukungan dari semua pihak secara penuh sehingga restorasi selama tiga tahun belakangan hanya mampu mencapai 600 ribu hektare dari target dua juta hektare bahkan restorasi di area konsesi yang 1,4 juta hektare masih sangat sulit untuk dijalankan.

“Ini kan berbagai komitmen sudah ada muncul, hanya saja gagal dilaksanakan dengan tepat dan gagal ditransformasikan kepada seluruh pejabat mulai dari tingkat kementerian sampai tingkat desa,” ujarnya.

Dia mengatakan persoalan kebakaran ini adalah kerusakan hutan dan lahan gambut yang berawal dari suatu kesengajaan untuk menebang pohon, mengeringkannya dan membakar hutan dan lahan gambut untuk membuka lahan baru bagi penanaman.

Untuk itu, Teguh mengatakan harus ada proses penghentian pemberian izin baru terhadap korporasi untuk membuka lahan konsesi.

“Ini sudah delapan tahun dilakukan sejak 2011, tapi kan lagi-lagi tidak dilaksanakan secara maksimal, hanya di atas kertas saja, pengawasannya tidak ada, izin tetap keluar, penegakan hukum juga masih lemah,” tuturnya.

Penegakan hukum dan penertiban izin harus dilakukan dengan maksimal. Kemudian, restorasi pemulihan kawasan-kawasan yang rusak dilakukan sembari memperbaiki tata batas kawasan hutan, menyelesaikan konflik, membangun mekanisme reduksi konflik, memastikan pengakuan hak-hak masyarakat adat atau lokal di sekitar hutan.

Artikel ini ditulis oleh: