Akan tetapi, karena ketidakjelasan hukumnya, maka banyak hutan adat yang dikuasai secara perlahan-lahan, baik secara individual oleh masyarakat maupun kelompok besar seperti perusahaan.
“Sebagian dikuasai oleh masyarakat, biasanya dimulai dengan membuat Surat Keterangan Tanah (SKT) selanjutnya berlanjut ke akta atau sertifikat. Sedangkan oleh perusahaan perkebunan dengan mengurus legalitas hak guna usaha (HGU),” ujar Dahlan di Lhokseumawe, Kamis (6/4).
Akibat dari adanya praktek kepemilikan seperti itu, tidak jarang akhirnya berujung kepada konflik antara masyarakat setempat dengan penggarap atau pemilik lahan dimaksud.
Oleh karena itu, ia menyarankan kepada pemerintah daerah, supaya memperjelas status hutan adat, baik posisi maupun batas-batasnya, sehingga kelestarian status hutan adat tetap terjaga.
Apalagi di Aceh, dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Pemerintah dapat mengembalikan fungsi Imum Mukim dan Pawang Hutan dalam lembaga adat Aceh sebagai salah satu intrumen yang menjaga kelestarian wilayah hutan, kata Dahlan.
Ant.
Artikel ini ditulis oleh: