Kalau tentang Selat Lombok orang sudah tentu banyak yang tahu. Selat Lombok merupakan senjata geopolitik Indonesia yang bisa membuat Australia ketar-ketir? Nah ini baru berita.
Menurut M Arief Pranoto, pakar geopolitik Global Future Institute (GFI) kepada Aktual Kamis (09/01), kita sering menyepelekan sebuah fakta penting bahwa pengapalan sapi dari Australia ke Cina selalu melintasi Selat Lombok, dan selain itu, masih banyak produk-produk lain dari Australia juga melewati perairan Indonesia menuju berbagai negara.
Lantas, apa artinya itu bagi Indonesia? Secara geopolitik, bila selat tersebut ditutup untuk sementara waktu —entah dalam rangka latihan TNI-Polri guna menghadapi teroris misalnya, atau karena kepentingan nasional RI terancam, atau alasan lain, dan sebagainya, apa akibatnya buat Australia? Negeri Kanguru itu bisa-bisa terpaksa harus memutar melalui Papua New Guine/PNG, sehingga bisa berakibat High cost alias biaya tinggi dan produknya akan sulit bersaing.
Celakanya, kita sendiri tidak sadar geopolitik, bahwa Selat Lombok merupakan salah satu “jantung ekonomi” Australia. Bahkan kononĀ 80% APBN Australia tergantung dari perairan Indonesia/Selat Lombok.
Bayangkan kalau kita menyadari Selat Lombok sebagai senjata geopolitik. Bayangkan seandainya setiap melintas dikenakan fee lintas (sekian $ atau Rp) per kapal, bukankah cukup lumayan mengisi pundi-pundi devisa kita dari sektor choke points ini? Belum lagi lintasan di Selat Sunda, di Selat Malaka, dll.
Tatkala fee pada choke points diwajibkan bayar dengan rupiah, maka niscaya rupiah tak bakal melemah karena dicari oleh banyak negara terutama yang memiliki kepentingan dengan Indonesia. Atau setiap transaksi apapun, kapanpun, dan dimanapun —selama di wilayah NKRI— wajib menggunakan rupiah.
Itulah sebagian kecil makna strategis geoposisi silang di antara dua benua dan dua samudra bila kita memberdayakannya. Sederhana ‘kan?