Jakarta, Aktual.com – Mahkamah Agung tidak memberikan pendapat terhadap status Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, seperti permintaan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo.
“Isi surat adalah kami tidak memberikan pendapat karena sudah ada dua gugatan TUN (Tata Usaha Negara) yang masuk ke Pengadilan TUN,” kata Wakil Ketua MA bidang Yudisial Syarifuddin seusai seminar “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dan Implementasi Perma No 13 tahun 2016” di Jakarta, Selasa (21/2).
Mendagri pada 14 Februari 2017 mendatangi MA untuk meminta fatwa MA terkait dengan status Ahok, yang menyandang status terdakwa dalam kasus dugaan penistaan agama.
Status Ahok yang saat ini masih menjadi gubernur digugat oleh Advokat Muda Peduli Jakarta pada 13 Februari 2017 ke PTUN Jakarta, karena menilai Ahok harus diberhentikan sebagai gubernur.
Selain AMPETA, Persaudaraan Muslimin Indonesia juga mengajukan gugatan ke PTUN pada 20 Februari 2017 dan menuntut agar Presiden Joko Widodo untuk memberhentikan Ahok sebagai gubernur.
“Fatwa sudah ada kemarin, sudah dikeluarkan karena ada dua gugatan TUN mengenai hal yang sama yang sudah dimasukkan ke TUN, mengenai itu, kalau kita berikan fatwa itu akan mengganggu indepedensi hakim,” kata Syarifuddin.
Artinya MA mengembalikan ke Mendagri terkait status Ahok dan menunggu putusan PTUN. “Kalau kita yang memberi fatwa, seperti kita yang memutuskan, kan pengadilan harus berjalan.”
Juru Bicara MA, Suhadi mengaku bahwa MA memang menahan diri untuk mengeluarkan pendapat bila persoalan itu sudah atau berpotensi dibawa ke tahap pengadilan.
“MA memegang prinsip kalau minta petunjuk atau ada pertanyaan yang materi dari petunjuk itu ada keterlibatan suatu perkara, maka MA mencegah diri untuk mengeluarkan pendapat soal itu, kalau ada indikasi dalam konteks perkara atau akan jadi perkara maka MA mencegah diri untuk berpendapat karena khawatir mengganggu independensi hakim untuk memutus karena institusi tertingginya sudah memutus misalnya, jadi itu dalam berpraktik,” kata Suhadi dalam acara yang sama.
Pasal 83 UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah NKRI. [Ant]
Artikel ini ditulis oleh:
Wisnu