Jakarta, aktual.com – Lembaga swadaya masyarakat Yayasan Madani Berkelanjutan menemukan kebakaran lahan dan hutan (karhutla) berulang dari korporasi yang sama sejak 2015 hingga sekarang di Riau, dan mengklaim tidak ada program restorasi dari korporasi tersebut.

Dari 737 titik panas yang ditemukan di Riau periode Januari-Maret 2019, ada sebanyak 197 titik panas ditemukan di wilayah delapan perusahaan hutan tanaman industri (HTI). Dari 197 titik panas itu, 99 persen atau 195 titik panas berada di lahan gambut, yang terbesar terdapat di wilayah perusahaan SRL.

“Rata-rata itu ada yang terbakar dua tahun, ada yang sepanjang tahun. Ada dua perusahaan di HTI, HGU yang setiap tahun terbakar,” ujar Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan Teguh Surya dalam konferensi pers, Jakarta, Selasa (2/7).

“Semua terbakar dan tidak ada satu program restorasi di situ, sementara pemerintah Joko Widodo dengan jelas (memerintahkan) harus ada penegakan hukum,” kata Teguh.

Jumlah kejadian titik panas pada area konsesi hak guna usaha (HGU) adalah sebanyak 119 titik, dengan jumlah titik terbanyak terdapat pada konsesi milik perusaaan PT SSS dengan 38 titik panas dan PT SDA dengan 24 titik panas.

Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor Prof. Bambang Hero mengatakan pentingnya memastikan korporasi benar-benar telah melakukan upaya restorasi gambut dengan mengikuti standar yang ada, yang menjadi kunci untuk mengawal agar target penurunan emisi 29 persen pada 2030 tercapai.

“Jika wilayah konsesi sudah dinyatakan masuk wilayah prioritas restorasi, seharusnya pada tahun keempat konsesinya sudah direstorasi. Kenyataannya, wilayah konsesi masih menjadi biang kerok. Ini harus segera dicari penyelesaiannya,” ujarnya.

Dalam memastikan kepatuhan korporasi, Badan Restorasi Gambut (BRG) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan seharusnya bersinergi seperti kepingan “puzzle” yang saling melengkapi..

Sementara itu, Direktur Eksekutif Sawit Watch Inda Fatinaware menyoroti adanya wilayah yang dikuasai masyarakat dalam areal konsesi sawit dan hutan tanaman industri yang kembali terbakar di Riau.

“Titik api dan karhutla tidak berdiri sendiri, tetapi selalu ada pemicunya, salah satunya adalah konflik. Jika kita mau menyelesaikan karhutla, kita harus menyelesaikan konfliknya juga. Urusan karhutla bukan hanya sekat kanal dan sumur bor, tetapi juga penyelesaian konflik. Gubernur Riau sudah mencanangkan Riau hijau. Maka, penyelesaian konflik harus menjadi prioritas juga,” ujarnya.

Ant.

Artikel ini ditulis oleh:

Zaenal Arifin