Jakarta, Aktual.com — Fenomena kekerasan agama di Indonesia memang bukan barang langka. Namun sungguh sebuah ironi yang memperihatinkan apabila terdapat individu, kelompok, aparat bahkan pemerintah di Indonesia yang diam, bungkam bahkan mendukung tindakan kekerasan untuk mengintimidasi bahkan menyingkirkan pihak lain, terlebih dengan mengatasnamakan agama.
“Tidak hanya melanggar Hak Asasi Manusia, tindakan tersebut juga menjadi sebuah ancaman terhadap fitrah kemanusiaan yang mengarah pada disintegrasi bangsa,” kata Ketua DEMA FISIP UIN Syarif Hidayatullah, M. Rifqi Syahrizal dalam sebuah rilis yang diterima Aktual, Senin (20/7).
Rifqi memandang bahwa peristiwa penyebaran surat pemberitahuan dengan tidak diperbolehkannya umat Islam Tolikara menjalankan shalat ied, peristiwa pembubaran shalat Iedul Fitri dan pembakaran Masjid Baitul Muttaqin di Tolikara, Kab. Wamena, Papua pada Jum’at (17/7/2015) merupakan tindakan kekerasan yang tidak dapat dibenarkan dengan alasan bagaimanapun juga.
“Hal tersebut juga merupakan pelanggaran hak beribadah bagi setiap umat beragama yang merupakan bagian dari prinsip hak atau kebebasan beragama dan berkeyakinan sebagaimana UUD pasal 28E ayat 2,” tambahnya.
Selain itu, jelas bahwa peristiwa ini tidak sama sekali mencerminkan jati diri bangsa, bahkan jauh dari nilai-nilai kebangsaan yang mengindahkan nilai kesatuan dan persatuan dalam perbedaan.
Oleh karena itu, DEMA FISIP UIN Syarif Hidayatullah mengutuk keras tindakan pelarangan ibadah, pembakaran dan kekerasan terhadap kebebasan beragama yang terjadi di Tolikara dan menolak kekerasan dengan alasan apapun.
“Kami menuntut aparat dan pemerintah untuk segera mengusut tuntas pelaku dan otak tindakan kekerasan di Tolikara dan memberikan sanksi secara tegas, ” tegasnya.
Rofiq juga menuntut pemerintahan Jokowi-JK untuk serius dalam mengatasi setiap ancaman disintegrasi bangsa seperti yang terjadi di Tolikara, termasuk kekerasan terhadap agama atau yang mengatasnamakan agama di Indonesia.
“Pelaku yang melakukan tindakan kekerasan terhadap agama dan mengatas-namakan agama terhadap pihak lain bukanlah bangsa Indonesia. Kami juga mengimbau bagi korban atau pihak lain yang mengetahui peristiwa ini agar tidak tersulut, tetap kondusif, tetap bersikap tolleran, tetap pelihara kedaiaman dalam keberagamaan di tanah Papua dan di Indonesia,” tutup Rofiq.