Jakarta, Aktual.com – Terjadinya kemacetan parah di gerbang keluar tol Brebes Timur atau ‘Tragedi Brexit’ dinilai sebagai cermin ketidakhadiran negara dalam merumuskan langkah-langkah preventif atas urusan rakyat banyak.

Pendapat tersebut disampaikan Ketua Bidang Sosial Politik Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia, Razikin Juraid. Menurut dia, dengan segala kerumitannya, peristiwa Brexit seharusnya tidak perlu terjadi apalagi sampai memakan korban.

“Pada konteks abainya negara tersebut, saya menyebut kejadian itu dengan sebutan Brexit Terror atau dapat juga disebutkan sebagai teror negara alias state terror,” ucap dia, Jumat (8/7).

Razikin menyesalkan sikap pemerintah terhadap Tragedi Brexit yang terkesan menganggapnya lebih remeh dibandingkan peristiwa bom bunuh diri yang menewaskan pelakunya. Padahal kemacetan para di Brebes itu memakan korban jauh lebih banyak dibandingkan peristiwa bom bunuh diri.

“Sebaiknya pemerintah harus berani meminta maaf dan mengakui jika itu adalah kelalaian, karena mudik itu adalah rutinitas tahunan yang dapat diprediksi jauh-jauh hari sebelumnya,” kata dia.

“Sangat jelas dalam hal ini pemerintah bersalah dan harus bertanggungjawab dan minta maaf. Dua belas orang meninggal itu akibat kelalaian pemerintah,” demikian Razikin.

Diketahui, ‘Tragedi Brexit’ pada akhir bulan Ramadhan 2016 memakan 12 korban, salah satunya adalah bayi berusia setahun. Korban kebanyakan kelelahan karena terjebak macet selama puluhan jam. Sementara petugas kesehatan tidak bisa pemudik yang membutuhkan pertolongan karena kemacetan itu sendiri. (Soemitro)

Artikel ini ditulis oleh: