Singapura, Aktual.com – Para pemimpin ASEAN dinilai bersikap terlalu lunak dalam menanggapi isu Rohingya. Hal ini diungkapkan oleh Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad.
Namun, Mahathir menggunakan istilah yang lebih halus untuk mengilustrasikan hal ini. Ia menyebut istilah ‘diplomatis’ untuk menggambarkan sikap para pemimpin ASEAN.
“Para pemimpin ASEAN sangat diplomatis karena kami tidak ingin membuat suatu pernyataan tegas yang menyerang satu sama lain,” ujar Mahathir Mohammad di sela-sela KTT ASEAN ke-33, Singapura, Rabu (14/11).
Ia mengatakan para pemimpin negara-negara anggota ASEAN lainnya menanyakan perkembangan isu Rohingya kepada pemimpin ‘de facto’ pemerintahan sipil Myanmar, Aung San Suu Kyi.
“Beberapa orang mengajukan pertanyaan, begitu juga saya, terutama ke arah bagaimana mencoba dan menyelesaikan masalah ini,” ujar dia.
Sebelumnya, Amnesty International mengumumkan pencabutan penghargaan hak asasi manusia (HAM) tertinggi Ambassador of Conscience yang pernah diberikan kepada Aung San Suu Kyi pada 2009.
Amnesty Internasional mencabut penghargaan tersebut karena pemimpin Myanmar tersebut dianggap menghianati nilai-nilai yang pernah dibelanya.
Pada 11 November 2018, Sekretaris Jenderal Amnesty International Kumi Naidoo mengirimkan surat kepada Aung San Suu Kyi mengenai pencabutan penghargaan tersebut, demikian disebutkan dalam pernyataan pers yang diterima Antara, Selasa.
Naidoo mengekspresikan kekecewaan Amnesty International atas kenyataan bahwa, walaupun telah mencapai separuh dari masa jabatannya dan setelah delapan tahun dibebaskan dari tahanan rumah, Aung San Suu Kyi tidak menggunakan kekuatan politik dan moralnya untuk menjaga HAM, menegakkan keadilan dan kesetaraan.
Suu Kyi dianggap justru menutup mata atas kekejaman militer Myanmar dan peningkatan serangan terhadap kebebasan berekspresi di negara tersebut.
“Sebagai seorang Ambassador of Conscience Amnesty International, harapan kami adalah Anda melanjutkan otoritas moral Anda untuk menentang ketidakadilan di mana pun Anda melihatnya, termasuk di Myanmar sendiri,” kata Kumi Naidoo dalam surat tersebut.
“Hari ini kami sangat kecewa menyampaikan bahwa Anda tidak lagi mewakili simbol harapan, keberanian, dan pembela hak asasi manusia. Amnesty International tidak mempunyai alasan untuk tetap mempertahankan status Anda sebagai penerima penghargaan Ambassador of Conscience. Oleh karena itu, dengan sangat sedih kami menariknya dari Anda,” kata Naidoo.
Ant.
Artikel ini ditulis oleh:
Teuku Wildan