“Jangan dikatakan politik hukum nasional itu harus kodifikasi, tidak tetapi tetap harus ada hukum khusus yang memang merupakan wadah untuk memberikan ‘treatment’ khusus terhadap jenis tindak pidana tertentu. Itu aspirasi yang saya sampaikan dan mungkin ada kesamaan dengan KPK,” ujarnya.
Dia pun mengharapkan keberadaan KPK harus tetap ada karena efektif melaksanakan tugasnya dalam pemberantasan korupsi. “Pokoknya KPK jangan sampai mati, dan keberadaan KPK itu sama sekali tidak melanggar politik hukum, tidak melanggar konstitusi. Yang penting kalau ada kritik-kritik jadikan perbaikan ke depan tetapi lembaga ini ternyata terbukti sangat efektif melaksanakan tugasnya di tengah keterbatasannya,” kata dia.
Sebelumnya Ketua DPR Bambang Soesatyo mengatakan bahwa DPR akan menyetujui untuk disahkannya RUU KUHP pada 17 Agustus 2018 sebagai kado kemerdekaan Indonesia.
KPK mengatakan setidaknya ada 10 hal mengapa RKUHP berisiko bagi KPK dan pemberantasan korupsi yaitu (1) Kewenangan kelembagaan KPK tidak ditegaskan dalam RUU KUHP, (2) KPK tidak dapat menangani aturan baru dari United Nations Convention againts Corruption (UNCAC) seperti untuk menangani korupsi sektor swasta, (3) RUU KUHP tidak mengatur pidana tambahan berupa uang pengganti.
Selanjutnya (4) RUU KUHP mengatur pembatasan penjatuhan pidana secara kumulatif, (5) RUU KUHP mengatur pengurangan ancaman pidana sebesar 1/3 terhadap percobaan, pembantuan dan pemufakatan jahat tindak pidana korupsi, (6) Beberapa tindak pidana korupsi dari UU Pemberantasan Tipikor masuk menjadi Tindak Pidana Umum.
Kemudian (7) UU Pemberantasan Tipikor menjadi lebih mudah direvisi, (8) Kodifikasi RUU KUHP tidak berhasil menyatukan ketentuan hukum pidana dalam satu kitab Undang-undang, (9) Terjadi penurunan ancaman pidana denda terhadap pelaku korupsi, (10) Tidak ada konsep dan parameter yang jelas dalam memasukkan hal-hal yang telah diatur undang-undang khusus ke dalam RUU KUHP.
Ant
(Wisnu)
Artikel ini ditulis oleh:
Antara