Jakarta, Aktual.com – Kisah yang dituturkan Eric Weiner dalam The Georaphy of Bliss ketika berkunjung ke Thailand, sungguh menggugah dan inspiratif.

Menurut Weiner, orang Thailand sangat mencurigai kegiatan berpikir. Bagi orang Thailand berpikir itu kayak orang berlari. Hanya karena kaki anda bergerak bukan berarti kita sampai ke suatu tempat.

Bisa jadi kamu berlari menentang arah angin. Mungkin anda berlari di atas treadmill. Bahkan mungkin kamu berlari mundur.

Bahkan pada tingkatan ekstrem, orang Thailand menganggap orang berpikir itu gila atau keras kepala. Mengutip ucapan seorang pakar geografi Yi-Fu Tuan dari Thailand: “Orang bahagia tidak punya alasan untuk berpikir. Mereka memilih hidup daripada mempertanyakan kehidupan.”

Terlalu berpikir tentang kebahagiaan akhirnya malah membuat kita kurang bahagia. Mungkin ada benarnya kata seorang penulis Kanada: Jika anda tidak bahagia, sebaiknya anda berhenti mengkhawatirkan ketidakbahagiaan dan melihat perbendaharaan apa yang anda miliki dari ketidakbahagiaan anda.”

Dengan begitu, kita sejatinya punya segudang harta karun ketidakbahagiaan yang menunggu untuk dipetik hasilnya. Begitulah agaknya cara orang Thailand mengartikan  kehidupan yang baik secara sederhana. Seperti ungkapan seorang gadis Thailand kepada Weiner: Anda ini terlalu serius, dan menurutku anda jangan berpikir terlalu berlebihan.”

Bagaimana orang Thailand bisa-bisanya menganut budaya yang tidak suka kegiatan berpikir? Dalam kearifan lokal Thailand, ada ungkapan yang kerap disebut Mai Pen Lai. Yang artinya tidak apa-apa.

Tidak apa-apa dalam istilah Mai Pen Lai, berbeda maknanya dengan tidak apa-apa dalam konotasi orang Barat atau Amerika. Kalau di dalam pengertian orang Barat, tidak apa-apa seringkali digunakan dengan nada marah seperti dalam kalimat: :Oh, tidak apa-apa, saya akan mengerjakannya sendiri.” Dalam konotasi Mai Pen Lai, tidak apa-apa ya benar benar tidak apa-apa, dalam artian penuh kepasrahan.

Dalam alam pikir orang Thailand,orang asing yang tinggal di negeri ini hanya ada dua pilhan: Menerapkan sikap Mai Pen Lai atau menjadi gila.

Pengalaman Denis Gray, wartawan Amerika yang sudah bermukim di Thailand selama 30 tahun, sebagaimana penuturannya pada Eric Weiner menarik untuk direnungkan.

“Suatu hari, manajer kantor saya dan saya membahas suatu masalah tentang laporan. Kami tidak bisa membereskannnya, benar-benar tidak dapat menyelesaikannya. Perhitungannya tidak selesai betapapun kami berusaha menuntaskan masalah. Kemudian manajer saya berkata, biarkan saja. Kita tidak perlu mencari solusi.Maka kamipun membiarkannya.”

Namun Denis Gray mengingatkan, sikap Mai Pen Lai tedapat beberapa kelemahan. Antara lain, kadang-kadang sikap ini digunakan sebagai tameng ketidakmampuan atau kemalasan. Begitupun Denis Gray mengakui, bahwa sikap Mai Pen Lai sejatinya merupakan suatu pendekatan yang bijak dari orang Thailand dalam menyikapi berbagai masalah kehidupan.

Kuatir saya, ketika sikap Mai Pen Lai merupakan kearifan lokal dan bagian dari ketahanan budaya Thailand menghadapi tekanan kehidupan, di Indonesia menjadi tameng bagi ketidakmampuan dan kemalasan melalui sikap Aku Ra Mikir dan Aku Ra Popo.

(Hendrajit)

Artikel ini ditulis oleh:

Andy Abdul Hamid