Ratusan mahasiswa yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) melakukan aksi di depan Istana Merdeka, Jakarta, Senin (7/12/2015). Dalam aksinya KAMMI mendesak agar Pemerintah agar tidak memperpanjang kontrak karya Freeport pada tahun 2021 dan melakukan Nasionalisasi Freeport.

Jakarta, Aktual.com — Transparansi Pertamina mengenai penjualan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) makin dipertanyakan, Pertamina dinilai mencari untung besar memanfaatkan kondisi penurunan harga minyak dunia.

Ketua PP KAMMI Bidang Ekonomi, Barry Pratama mengatakan, Pertamina melakukan penjualan BBM kepada masyarakat dengan harga tinggi tanpa mempertimbangkan kondisi harga minyak dunia, sehingga pertamina meraup untung besar dari masyarakat yang tengah mengalami kesulitan ekonomi.

“Sangat aneh dan terkesan pertamina mencari untung, padahal ada hak (rakyat) disana yang harus dilindungi,” tulis Barry melalui pesan elektronik kepada Aktual.com Kamis (21/1).

Selanjutnya Barry menilai selama ini penerapan subsidi pemerintah dalam BBM dilakukan dengan perhitungan yang tidak transparan. Ia berharap pemerintah harus berbuat adil kepada masyarakat untuk melakukan penyesuaian harga minyak.

“Memang tidak transparan penghitungannya, di saat harga minyak dunia sedang jatuh justru terlihat tidak ada penyesuaian harga, namun pada saat harga minyak dunia naik, pemerintah sangat reaktif ingin menaikkan harga,” pungkas Barry.

Untuk kita ketahui bahwa harga minyak Means of Platts Singapore (MOPS) untuk jenis solar saat ini sudah menyentuh harga USD40 per barel, yang artinya jika dirupiah dan diliterkan, harga keekonomian solar berdasarkan MOPS adalah Rp3.500/liter (belum termasuk biaya pengangkutan dan pajak)

Untuk ongkos kirim diasumsikan USD3 per barel (Rp300/liter) dan PPN 10% (Rp380/liter) ditambah PBBKB 5% (Rp190/liter) maka semestinya harga solar non subsidi di Indonesia berkisar di harga Rp4.370-Rp4.500 per liter.

Tapi kenyataannya harga Solar subsidi sampai saat ini Rp5.750 per liternya (Harga keekonomian: Rp6.750 per liter) ada selisih harga Rp2.380 dari harga keekonomian (selisih Rp1.380 dari harga subsidi).

Peramina meraup keuntungan yang sangat besar dari selisih penjualan tersenut. Di sisi lain, tidak menutup kemungkinan ada pihak yang berani menjual harga solar non subsidi di bawah harga solar subsidi.

Seperti yang pernah terjadi pada bulan Agustus 2015 lalu yang saat itu harga solar subsidi di SPBU dijual dengan harga Rp6.900 per liter, PT AKR Corporindo Tbk, justru menjual solar industri di level Rp6.400 per liter, lebih murah Rp500 per liter.

Artikel ini ditulis oleh:

Dadangsah Dapunta
Arbie Marwan