Jakarta, aktual.com – Dalam majelis dzikir dan tausiyah yang berlangsung di Zawiyah Arraudhah, Syekh Abdul Mun’iem bin Abdul Aziz Al-Ghumari menyampaikan pencerahan mendalam mengenai keagungan Imam Ibnu Athaillah Assakandari, seorang Quthb besar dalam sejarah Islam. Majelis yang penuh dengan suasana kedamaian ini bertujuan untuk menyebarkan tauhid dan dzikir yang sesuai dengan ajaran ahli makrifat.

“Ini adalah majelis yang penuh kedamaian, dzikir, tauhid yang sesuai dengan para ahli makrifat yang bertempat di Zawiyah Arraudhah. Semoga kita mendapat keberkahan Imam Ibnu Athaillah Assakandari,” ucap Syekh Abdul Mun’iem.

Imam Ibnu Athaillah Assakandari merupakan salah satu Quthb besar dalam sejarah dunia islam, tidak ada yang menyamai beliau dalam posisinya, sesuai namanya beliau adalah karunia Allah untuk umat islam. Imam Ibnu Athaillah Assakandari diangurahi Allah dalam kitab ini berupa penerimaan dari umat atas kalam hikmahnya, dan didalamnya menunjukan kafasihan beliau dalam ilmu yang agung.

Beliau adalah imam terkenal dalam ilmu syariat, tapi menentang tasawuf, serta pelaku tasawuf (sufi) termasuk mengingkari Imam Abul Abbas Al Mursi. Ketika Imam Ibnu Athaillah Assakandari mengenal sang guru (Imam Abul Abbas Al Mursi) dan bersuhbah serta beristifadah (mengambil faidah) dengan sang guru maka Allah membukakan futuh (pintu hati yang terbuka) kepada Imam Ibnu Athaillah Assakandari.

Biografi tentang Imam Ibnu Athaillah Assakandari amat sangat luas sekali, sehingga tidak mungkin kita kaji hanya dengan majelis singkat semacam ini, maka disini saya (Syekh Mun’iem) akan meringkas terkait penjelasan keluhuran derajat beliau dalam ilmu tasawuf.

Dimasa Imam Ibnu Athaillah Assakandari, sufi dan tasawuf mengalami gesean dari kalangan Fuqaha. Dimana sebagai punggawa dari serangan kepada tasawuf ini adalah Ibnu Taimiyah. Dan yang menjawab atas serangan ini adalah Imam Ibnu Athaillah Assakandari, karena sebelum menjadi sufi ia telah menjadi Imam Besar dalam ilmu syariat.

Dan termasuk paling agung karamah Imam Ibnu Athaillah Assakandari adalah Kitab Al Hikam ini, beliau dilahirkan pada 709 H dan sekarang kita berada pada 1446. Dan sampai sekarang belum ada ulama atau seorang pun yang dapat mendatangkan kalam hikmah seperti apa yang disamapaikan Imam Ibnu Athaillah Assakandari.

Beliau juga punya tempat tersendiri di Masjid Al Azhar, dan disanalah beliau mengajar dan menjelaskan kitab Al Hikam ini, dan lahirlah para ulama dari majelis ini termasuk adalah Imam Taqiyuddin As-Subki (siapa yang tidak mengenal beliau) dan putra beliau, yakni Imam Tajuddin As Subki, dan Imam Tajuddin As Subki berkata “Jika daam kitab Al Hikam ini terdapat kandungan kekufuran, maka ayahku (Imam Taqiyuddin As-Subki ) yang akan menentang paling dahulu.”

Jika dahulu Imam Tasawuf adalah Imam Ibnu Athaillah Assakandari dan melahirkan Imam Taqiyuddin As-Subki (pembesar mazhab syafi’i) dari madrasahnya ini sudah menjadi bukti cukup keagungan beliau, dan inilah hakikat sufi (orang yang melakukan syariat juga amal dan adabnya).

Seluruh mazhab dalam fikih semuanya belajar kepada Imam Ibnu Athaillah Assakandari, bahkan setelah beliau wafat mereka juga tetap berziarah di makam beliau di Muqattam dan mencari keberkahan Imam Ibnu Athaillah Assakandari.

Suatu Imam Ibnu Athaillah Assakandari berjalan menuju Masjid Al Azhar, dan di tengah perjalanan beliau di dorong dan di desak oleh seorang nasrani dan selalu mengganggu perjalanan Imam Ibnu Athaillah Assakandari, dan dalam kejadian tersebut, Imam Ibnu Athaillah Assakandari melihat seorang nasrani teresebut dengan satu kali nazhrah/pandangan kasih sayang.

Sejak hari itu, sebelum Imam Ibnu Athaillah Assakandari masuk masjid Al Azhar, seorang nasrani tadi telah menunggu sang Imam dan menyampaikan telah mengucapkan 2 kalimat syahadat dan menyatakan diri sebagai seorang muslim. Dan ini merupakan (keutamaan) pandangan (kasih sayang) seorang waliyullah terhadap hambanya Allah.

Kisah lain disebutkan bahwa setelah Imam Ibnu Athoillah Assakandari wafat, datang kepada beliau al-Imam Ibnu Himam (beliau merupakan salah satu pembaharu dan ulama besar dari madzhab Hanafi) dan ketika beliau sampai di Maqbaroh Imam Ibnu Athoillah Assakandari, beliau membaca surat-surat dari al-Qur’an yang biasa beliau baca, kemudian ketika sampai pada ayat,

فمنهم شقي وسعيد

“Dan diantara mereka ada yang menjadi ahli neraka dan ada yang menjadi ahli surga.”

Kemudian setelah itu beliau mendengar suara yang keluar dari makam Imam Ibnu Athoillah Assakandari yang mengatakan bahwa:

كلنا من السعداء

“Setiap dari kita adalah golongan dari orang-orang ahli surga.”

Maka sejak detik itu, al-Imam Ibnu Himam berwasiat kepada keluarganya, kepada para ikhwannya, dan kepada para muridnya, agar beliau dimakamkan disamping makam Imam Ibnu Athoillah Assakandari dan setelah beliau wafat (al-Imam Ibnu Himam) beliau dimakamkan disamping makam Imam Ibnu Athoillah Assakandari.

Dari kisah tadi terdapat isyarah yang menakjubkan dan karamah, bahwasanya Imam Ibnu Himam berziarah kepada Imam Ibnu Athoillah Assakandari yang merupakan Imam Besar dalam thariqah syadziliyah. Isyarahnya adalah bahwa seluruh pengamal thariqah Syadziliyah merupakan ahli sa’adah (ahli surga).

Maka dari itu Imam Ibnu Himam berwasiat agar dimakamkan disamping Imam Ibnu Athoillah Assakandari, karena siapa yang berdampingan dengan orang mulia, maka dia akan mejadi mulia.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain