Jakarta, Aktual.com – Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara menolak nota keberatan atau eksepsi tim penasihat hukum Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Salah satu eksepsi yang ditolak ihwal pendapat yang menyebut surat dakwaan jaksa penuntut umum tidak cermat, tidak lengkap dan tidak jelas.

Menurut Majelis Hakim yang diketuai Dwiarso Budi Santiarto, pendapat dari tim kuasa hukum Ahok, yang disampaikan dalam persidangan sebelumnya pada 13 Desember 2016, tidak berlandaskan hukum.

Dimana, dalam eksepsinya alasan pengacara menyebut dakwaan tidak jelas lantaran penuntut umum tidak mencantumkan akibat dari dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh Ahok. Yang ada hanya perbuatan pidana disangkakan.

Untuk menangkal pendapat itu, majelis lebih dulu memaparkan pengertian delik formil dan delik materil, dengan merujuk pada penjelasan Drs PAF Lamintang dalam bukunya yang berjudul ‘Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia’.

“Delik formal adalah delik yang dianggap telah selesai dengan dilakukannya tindakan yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang. Delik materil adalah delik yang dianggap telah selesai dengan ditimbulkannya akibat yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh UU,” papar Hakim saat sidang, di PN Jakarta Utara, Jalan Gajah Mada, Jakarta Pusat, Selasa (27/12).

Selanjutnya, dikuatkan juga dengan penjelasan dari ahli pidana, Eddy OS Hiariej, yang dimana menurut ahli Universitas Gadjah Mada (UGM) ini, perbedaan delik formil dan delik materil tidak dapat dilepaskan dari makna yang terkandung dari istilah ‘perbuatan’.

“Dalam ilmu hukum, istilah perbuatan mengandung dua hal, kelakuan atau tindakan dan akibat. Agar mudah dipahami, dapatlah dikatakan bahwa delik formal adalah delik yang menitik beratkan pada tindakan, sedangkan delik materil adalah delik yang menitik beratkan pada akibat,” jelas Hakim.

Kemudian, majelis menerangkan ihwal Pasal 156a huruf a KUHP dengan Pasal 156a huruf b KUHP. Penjelasan ini penting, mengingat tim penasihat hukum Ahok beranggapan bahwa unsur Pasal 156a bisa dikatakan sempurna, bilamana Pasal 156a huruf a dan huruf b juga terpenuhi secara bersamaan.

Hal inilah yang kemudian dimentahkan oleh majelis. Menurut majelis, perbuatan seseorang bisa dikatakan memenuhi unsur Pasal 156a, jika kemudian perbuatan orang tersebut membuat orang lain menjadi tidak beragama, sebagaimana tertuang dalam Pasal 156a huruf b.

Meskipun ada dua huruf, bila terpenuhi unsur baik huruf a saja maupun b saja, dipandang hakim pasal 156a-nya telah sempurna.

“Pengadilan berpendapat, unsur Pasal 156a huruf b yaitu dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa, berhubungan dengan unsur Pasal 156a KUHP yaitu barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan, bukan dengan huruf a. Sehingga Pasal 156 huruf b bukan merupakan akibat dari Pasal 156a huruf a KUHP,” terang Hakim.

“Maka, unsur-unsur Pasal 156 huruf a dan b bukan merupakan satu kesatuan. Masing-masing dapat didakwakan secara terpisah sesuai perbuatan yang telah dilakukan oleh terdakwa,” imbuh Hakim.

Atas penjelasan tersebut, majelis memutuskan bahwa surat dakwaan jaksa penuntut umum telah memenuhi ketentuan Pasal 143 ayat 2 a dan b KUHAP. Karena telah menguraikan dakwaan dengan cermat, jelas dan lengkap mengenai ‘locus delicti’, tempat terjadinya peristiwa pidana, dan ‘tempus delicti’, waktu terjadinya peristiwa pidana.

“Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan hukum di atas, maka keberatan penasihat hukum tidak berdasar dan tidak beralasan hukum, karenanya keberatan tersebut tidak dapat diterima,” pungkas Hakim.

M. Zhacky Kusumo

Artikel ini ditulis oleh:

Arbie Marwan