Yogyakarta, Aktual.com — Siapa pun yang mengenal kota turis Yogyakarta tentu mengenal pula beragam makanan dan jajanan yang menjadi ciri khas kota yang lebih tua dari Republik Indonesia itu.
Pertama kali menginjak kaki di Yogyakarta biasanya wisatawan ingin menikmati makanan khas utama kota itu, gudeg. Sayur gudeg yogya terkenal manis karena pemakaian gula aren yang cukup melimpah namun amat minim rempah.
Setelah berkeliling di kawasan wisata seputar Yogyakarta, pelancong tak lupa membawa oleh-oleh penganan khas kota pelajar itu. Bakpia, yangko, geplak adalah makanan camilan yang selalu disukai orang-orang yang berplesir ke wilayah bekas Kerajaan Mataram.
Dulu, ketika segala makanan tradisional yang bercita rasa manis dibuat dari pemanis alami dari gula aren, mengonsumsi camilan khas Yogya itu tak begitu merisaukan bagi kesehatan.
Namun, ketika tuntutan pasar kian membengkak dan prinsip ekonomi yang berupa pemaksimalan keuntungan dengan pengorbanan ongkos seminimal mungkin berlaku, pemakaian gula pasir buatan pabrik dengan segera menjadi pilihan membuat makanan yang bercita rasa manis.
Pengalihan pilihan bahan alami murni ke bahan semi alami, sebagaimana yang jamak terjadi pada pembuatan gula pasir maupun gula merah, menimbulkan masalah baru bagi pengonsumsi makanan manis dari bahan-bahan semi alami itu.
Sejumlah riset terbaru tentang bahaya gula tambahan (artinya bukan gula yang terkandung pada buah-buahan) menyebutkan bahwa gula berpengaruh negatif terhadap otak dan tubuh manusia.
Sebenarnya, mengonsumsi makanan oleh-oleh dari Yogyakarta tidak semasif mengonsumsi gula yang terdapat pada camilan seperti permin, minuman ringan, coklat, es krim, kue tar, roti manis, dan semacamnya.
Dalam sehari, diperkirakan seseorang bisa mengonsumsi lebih dari 12 sendok teh gula. Minum sekaleng minuman ringan seperti Coke saja akan mengandung fruktosa yang sepadan dengan enam cangkir stroberi.
Dalam negara yang semakin maju karena terjadi peralihan pola konsumsi dari yang tradisional ke yang modern, jumlah konsumsi gula tambahan semakin masih masif.
Ketika belum memasuki peradaban maju, minum air kelapa adalah lazim, kini tak cukup air kelapanya saja. Orang menambahkan es batu yang juga diimbangi dengan penambahan sirup atau gula atau susu kental manis untuk mengimbangi tingkat kemanisan air kelapa yang sudah ditambahi es itu.
Pada mulanya, makanan manis yang menjadi oleh-oleh dari Yogyakarta juga bercita rasa manis dari bahan alami gula aren. Dengan perubahan ini, ancaman kesehatan semakin besar.
Pada umumnya, masyarakat punya pemahaman umum bahwa semakin manis rasa makanan, semakin enak. Tentu jangan sampai terlalu manis. Selera memang subjektif tapi ada kecenderungan bahwa yang rasa yang normal dirasa kurang nendang.
Makanya tak aneh jika pembuatan martabak manis yang mendramatisasi rasa manis itu dengan menambahkan bukan saja susu kental manis yang melimpah, tapi juga gula pasir yang juga melimpah.
Sudahkan publik mengetahui bahwa pemakaian gula yang demikian itu destruksi buat otak dan tubuh, apalagi buat anak-anak yang justru membutuhkan nutrisi yang berlebih demi pertumbuhannya? Jika pembuatan penganan itu bertumpu pada gula yang secara alami terdapat pada produk susu sebagaimana disebut laktosa, kesehatan konsumen masih terjaga. Tapi hal semacam ini jelas tak banyak dilakukan penjual martabak manis.
Berbeda dengan gula yang yang diproduksi secara alami yang terdapat pada buah apel, gula yang bersumber pada tebu, kurma dan madu tak disertai oleh substansi serat, yang dapat memperlambat penyerapan gula dan mencegah meningkatnya reaksi insulin yang pada akhirnya dapat merusak jaringan hati.
Dengan mengurangi konsumsi gula tambahan dapat meminimalkan dampak dramatis pada kesehatan seseorang.
Dalam telaah yang dikeluarkan belum Iama ini, anak-anak yang mengurangi konsumsi gula tambahan dari menu makanan mereka selama sembilan hari, akan diikuti perbaikan dramatis dalam tingkat kolesterol dan gula darah mereka.
Dengan semakin banyak penemuan ilmiah tentang bahaya gula tambahan bagi kesehatan manusia, agaknya perlu dipikirkan tentang perlunya mengubah pola kuliner yang menjadi kultur di masyarakat Indonesia.
Dalam kasus oleh-oleh tradisional Yogyakarta, misalnya, perlu dipikirkan untuk benar-benar kembali ke watak tradisional dalam arti menggunakan bahan-bahan alami dan mengurangi secara drastis pemakaian gula tambahan, apalgi yang berjenis gula sintetis.
Pola kuliner tradisional yang berbasis gula sebagai cita rasa manis bukan monopoli masyarakat Yogya. Bahkan kota-kota lain di wilayah timur Jawa yang memproduksi wingko, juga mengandalkan gula tambahan. Di Gresik, penganan khas pudak, jenang juga menggunakan gula tambahan yang terlampau banyak untu mengejar cita rasa manis yang dramatis.
Tampaknya diperlukan inovator dan pebisnis kreatif yang bisa menciptakan penganan tradisional berdasarkan hasil riset mutakhir tentang bahaya gula. Artinya, sudah saatnya pembuat wingko yang beragam rasa itu benar-benar hanya mengandalkan rasa manisnya pada gula alami dari buah itu sendiri.
Jadi kalau wisatawan menikmati wingko rasa nangka, ya rasa manis dari nangka itu sajalah yang menjadi cita rasanya. Tentu tak mudah untuk mengubah selera lidah masyarakat yang sudah terbiasa dengan rasa manis dramatis dengan rasa manis yang normal-normal saja.
Namun, demi sesuatu yang lebih vital, demi kesehatan seluruh tubuh, rasa manja lidah harus ditundukkan.
Artikel ini ditulis oleh: