Selain kasus di SKK Migas, Widodo juga diduga menjalankan skema korupsi melalui TIS Petroleum (Asia) Pte Ltd, sebuah perusahaan yang secara formal dimiliki oleh Ivan Handojo. Tetapi sebenarnya dikendalikan oleh Widodo Ratanachaitong.
TIS Petroleum dan Dugaan Kolusi di Sektor Migas
TIS Petroleum diduga menyuap pejabat di sebuah perusahaan daerah di Riau agar mendapatkan hak eksklusif atas minyak mentah Minas tanpa melalui tender terbuka. Pada 2024, TIS memperoleh minyak mentah Minas dari BSP meskipun perusahaan ini gagal memenuhi kewajibannya, seperti menerbitkan letter of credit (LC) untuk pembayaran kargo November dan Desember 2024. Bahkan, TIS sempat terlambat sembilan hari dalam pembayaran kargo Desember, tetapi tetap mendapatkan kontrak untuk 2025 tanpa melalui tender. TIS mengalami kesulitan keuangan, tetapi tetap mendapatkan kontrak. Ini tidak masuk akal kecuali ada permainan uang di belakang layar.
TIS juga diduga menjalankan skema serupa dengan PT Saka Energy, anak usaha PT Perusahaan Gas Negara (PGN). Saka memberikan kontrak jangka panjang tiga tahun (2023-2025) kepada TIS tanpa tender tahunan. Pada 2024, TIS gagal membayar uang muka sebesar USD 31 juta kepada Saka, tetapi tetap mendapatkan fasilitas akun terbuka, sesuatu yang sangat jarang diberikan kepada perusahaan kecil dengan kondisi keuangan tidak sehat. Ini mengindikasikan adanya kolusi. Negara dirugikan karena kilang Pertamina tidak bisa membeli minyak domestik murah, melainkan harus impor minyak yang jauh lebih mahal.
Kasus Praperadilan Petral: Dugaan Suap yang Tak Kunjung Tuntas
Gugatan praperadilan kedua yang diajukan MAKI berkaitan dengan kasus dugaan korupsi di PT Petral. Pada 2014, Satgas Anti-Mafia Migas yang dipimpin Faisal Basri menemukan adanya kecurangan dalam pengadaan minyak melalui perusahaan asing. Salah satu indikasi kecurangan adalah kemenangan Maldives NOC Ltd dalam tender. Padahal perusahaan ini tidak memiliki sumber minyak sendiri dan diduga hanya berperan sebagai perantara fiktif.
KPK mulai menyelidiki kasus ini sejak Juni 2014, tetapi baru pada September 2019 menetapkan Bambang Irianto, Managing Director Pertamina Energy Services Pte. Ltd (PES), sebagai tersangka. Bambang diduga menerima suap USD 2,9 juta melalui rekening SIAM Group Holding Ltd.
“Kasus ini terlalu lama dibiarkan tanpa kejelasan. Apakah hanya satu orang yang bertanggung jawab? Kami mendesak KPK untuk mengusut pihak lain yang ikut bermain, termasuk kemungkinan adanya jaringan yang lebih luas,” kata Boyamin.
Desakan kepada KPK
Melalui gugatan praperadilan ini, MAKI dkk meminta KPK untuk segera: pertama, menetapkan Widodo Ratanachaitong sebagai tersangka dalam kasus suap SKK Migas. Kedua, mengusut dugaan suap yang dilakukan TIS Petroleum terhadap pejabat BSP dan Saka Energy. Ketiga, menelusuri aliran dana dan dugaan kolusi antara TIS, BSP, Saka, dan Kilang Pertamina Internasional. Keempat, mengembangkan penyidikan kasus Petral agar tidak berhenti hanya pada satu tersangka.
“KPK tidak boleh diam. Kalau mereka tidak segera bertindak, ini bisa menjadi skandal korupsi migas terbesar yang berdampak langsung pada keuangan negara,” tegas Boyamin.
Lebih jauh, Boyamin Saiman menyatakan, jangan sampai KPK kalah agresif dibanding Kejaksaan Agung dalam menindak kasus besar di sektor migas.
”Jika Kejagung bisa menangani kasus di Pertamina, KPK juga harus menunjukkan keberaniannya,” pungkas Boyamin.
Sidang praperadilan terkait gugatan ini dijadwalkan berlangsung mulai Selasa, 18 Maret 2025, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Artikel ini ditulis oleh:
Rizky Zulkarnain
















