Jakarta, Aktual.com – Seorang netizen, Abu Bakar Siddik, di akun media sosialnya menulis tentang keprihatinan tentang permasalahan yang harus dihadapi anak-anak di Tanah Air saat ini.
“Betapa malangnya nasibmu: anak indonesia. Sedari bayi ketika diimunisasi kalian sudah dihajar oleh vaksin palsu. BPPOM mengaku kecolongan, kata Menteri Kesehatan itu tidak terlalu berdampak, tetapi ketika Bareskrim Polri mengungkap jaringan pemasok vaksin palsu itu sangat luas sejak lebih dari 13 tahun, barulah Kemenkes mengumumkan belasan rumah sakit yang telibat di sejumlah provinsi yang katanya akan ditindak tegas. Betapa malangnya nasib anak Indonesia?! Sedari bayi mereka dicecar vaksin palsu, setelah besar mereka dikejar-kejar predator anak pula. Dimanakah tanggung jawab negara, selain bisanya hanya meminta maaf karena sudah kecolongan terus-menerus?,” demikian tulisnya.
Apa yang ditulis Abu Bakar Siddik yang juga seorang ayah tersebut merupakan wujud keprihatinan para orang tua, yang ingin negara hadir melindungi anak-anak mereka.
Hal itu wajar kiranya karena dalam dua kurun waktu dua bulan terakhir, masyarakat dihebohkan dengan peredaran vakin palsu yang ternyata sudah berlangsung selama 13 tahun terakhir.
Padahal belum lupa dari ingatan pada April lalu, seorang remaja di Rejang Lebong, Bengkulu, yakni Yuyun, tewas setelah diperkosa oleh 14 lelaki saat pulang dari menuntut ilmu di SMPN 5 Rejang Lebong.
Di Semarang, seorang murid SD diperkosa oleh 21 pria dewasa. Murid SD itu sebelum diperkosa dipaksa menelan pil koplo.
Belum lagi kasus kekerasan pada anak lainnya yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Kekerasan pada anak tidak hanya terjadi di desa tetapi juga di kota besar.
Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) menyebut kasus kekerasan pada anak meningkat tajam dan lebih dari 10 juta anak menjadi korban kekerasan.
“Sebanyak 58 persen di antaranya menjadi korban kekerasan seksual,” ujar Ketua Komnas PA Arist Merdeka Sirait.
Para pelaku sebagian besar merupakan orang terdekat mulai dari keluarga, tetangga, guru dan sebagainya.
Arist menyebut pemicu dari kekerasan pada anak disebabkan narkoba, alkohol dan pornografi. Untuk itu perlu dilakukan langkah untuk membatasi ketiga hal tersebut.
Meski saat ini, Perpu 1/2016 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak atau Perpu Kebiri telah ditandatangani, namun hal tersebut diyakini tidak akan membuat para pelaku jera.
“Pemerintah pusat harus membatasi penggunaan internet sehingga tidak bisa mengakses situs porno dan juga alkohol. Begitu juga pemerintah harus tegas terhadap peredaran narkoba,” cetus dia.
Peringatan Pemerhati perempuan dan anak Giwo Rubianto Wiyogo mengatakan kasus pelanggaran anak semakin masif dan rumit.
“Kasus vaksin palsu merupakan bagian dari kasus yang mengemuka. Ini harus menjadi peringatan keras bagi kita semua agar tidak main-main dalam layanan kesehatan anak,” ujar Giwo.
Oleh karena itu, momentum Hari Anak harus dijadikan momentum sebagai perubahan mendasar layanan kesehatan.
“Tak boleh ada anak satupun yang mendapat layanan kesehatan yang bermasalah,” katanya.
Negara juga perlu memainkan peran strategisnya agar anak tidak menjadi korban vaksin palsu. Tidak hanya proses hukum bagi pelaku, namun perbaikan sistem kesehatan.
“Rumah sakit juga harus bertanggung jawab karena telah membeli vaksin palsu dari distributor,” kata Ketua Umum Kowani itu.
Menteri Kesehatan Nila Moeloek mengungkapkan ada 14 rumah sakit yang menggunakan vaksin palsu. Rumah sakit beralasan terpaksa membeli vaksin palsu karena kelangkaan vaksin yang terjadi pada September 2015 hingga April 2016.
Badan POM menyebut ada 12 vaksin yang dipalsukan, yakni Vaksin Engerix B, Vaksin Pediacel, Vaksin Eruvax B, Vaksin Tripacel, Vaksin PPDRT23,Vaksin Penta-Bio, Vaksin TT, Vaksin Campak, Vaksin Hepatitis, Vaksin Polio bOPV, Vaksin BCG, dan Vaksin Harvix.
Manajer Program Kesehatan Yayasan Sayangi Tunas Cilik, Wahdini Hakim, mengatakan perlu ada upaya komperehensif untuk memastikan pemberian vaksin aman dan berkualitas.
Sehingga tujuan dari pemberian vaksin untuk melindungi anak dari bahaya penularan penyakit yang dapat mengakibatkan kesakitan dan kematian dapat tercapai.
“Penyebaran vaksin palsu sangat merugikan program imunisasi dalam upaya untuk melindungi dan memenuhi hak anak untuk dapat tumbuh dan berkembang dengan optimal sebagaimana mestinya,” kata Dini.
Imunisasi terbukti dapat menyelamatkan kehidupan. Badan Kesehatan Duni atau WHO menyebut bahwa imunisasi merupakan salah satu cara yang telah berhasil dan intervensi kesehatan yang efektif. Meningkatnya cakupan imunisasi telah berhasil mengurangi kematian anak di dunia sebesar 50 persen 1990 hingga 2015 dari 12,7 juta menjadi 5,9 juta kematian.
“Setiap anak berhak mendapatkan imunisasi merupakan bentuk pemenuhan haknya atas kesehatan dan perlindungan terhadap penyakit yang dapat merugikan masa depannya, dengan adanya vaksin palsu berarti ada pelanggaran hak anak yang cukup berat, kata Ketua Pengurus Yayasan Sayangi Tunas Cilik, Selina Sumbung. (Antara)
Artikel ini ditulis oleh:
Andy Abdul Hamid