Oleh: Jamaluddin F Hasyim
Jakarta, aktual.com – Kenapa didalam disiplin ilmu fiqih misalnya, ada tarjih-ul-aqwal. Mana pendapat para imam yang diambil (murajjah/rajih) dan mana yang dikalahkan (marjuh). Sehingga didalam madzhab Syafi’i kita mengenal istilah shohih, ashoh, mu’tamad, dan lain sebagainya.
Begitu juga dalam ilmu hadits, levelisasi terjadi diantara kitab hadits. Yang tertinggi adalah muttafaq ‘alaih, lalu dibawahnya yang diriwayatkan Imam al-Bukhari, lalu yang diriwayatkan Imam Muslim, dan seterusnya..
Ada levelling, pemeringkatan, istilahnya tafawut dalam mengambil suatu pendapat mana yang diikuti dan dijadikan referensi rujukan.
Kalau seorang Grand Syaikh Al-Azhar kira-kira ada di level tertinggi dalam jaringan keilmuan Islam di Mesir. Al-marja’-ul-a’la, begitu kira-kira. Siapa yang berani berbeda pendapat dengan sang Syaikh, hanya sedikit ulama kelas dunia di belahan dunia lain. Kebanyakan Taslim saja dengan pendapat beliau karena otoritasnya yang sangat tinggi, bahkan dijuluki sebagai “ensiklopedi berjalan”.
Lalu ternyata ada seorang kyai dari Banten yang berani membuat kritik terbuka, melalui medsos sebagaimana biasanya, menyalahkan pendapat sang Grand Syaikh. Cuma video, dan bersikap seakan banyak yang Syaikh belum tahu dan baca. Anehnya lagi, kaum santri disini yang terbiasa dengan tradisi fiqih dan hadits diatas begitu saja ikut pendapat sang kyai tanpa melakukan komparasi dan timbangan ilmiah atasnya. Sudah sedemikian rendahkah kualitas keilmuan kalangan santri saat ini sehingga tidak bisa membedakan lagi mana qaul yang mu’tamad, rajih dan marjuh? Kalau disandingkan sang Syaikh dan sang kyai tentu bukan apple to apple, tapi baina-s-sama’ wa-s sumur bor bahkan palung Mariana. Yang nampak jadinya bukan etos ilmiah, tapi ta’asshub alias fanatik buta.
Kita tentu menghargai setiap ikhtiar ilmiah sejauh dilakukan dengan semangat dan cara yang ilmiah juga, bukan kelihatannya ilmiah namun diiringi provokasi kaum awam menjadi pengikutnya.
Artikel ini ditulis oleh:
Rizky Zulkarnain