Jakarta, Aktual.com — Selama ini, buah peria (atau yang lebih dikenal dengan sebutan pare) hanya dikonsumsi untuk sayur dan lalapan.

Namun, di tangan lima mahasiswi program studi (prodi) Keperawatan Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa), buah berasa pahit itu justru bisa menjadi teh yang baik untuk dikonsumsi oleh para penderita diabetes.

Kelima mahasiswi itu adalah Dina Fitriyah Rahayu (angkatan 2013), Siska Wahyuningsih (2013), Dwiko Resyta Delimasari (2014), Fatimatuz Zahroh (2014), dan Lisnawati Eka Yuniati (2014). Semuanya dari program studi D3 Keperawatan Fakultas Keperawatan dan Kebidanan (FKK) Unusa.

Karya itu bermula dari proposal yang mereka buat dengan judul “Tere (Teh Pare) Insulin Like” yang lolos untuk program kreativitas mahasiswa (PKM) yang akan mendapatkan dan hibah dari Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi atau Kemenristek Dikti.

PKM memang diberikan untuk mendorong kesempatan kepada para mahasiswa guna menumbuhkan jiwa entrepreneurship atau kewirausahaan.

Dalam proposal Tere (Teh Pare), kelima mahasiswi itu menjadikan pare yang selama ini dikenal memiliki rasa pahit, menjadi ekstrak teh menyerupai teh celup. “Ini sangat bagus untuk dikonsumsi oleh penderita diabetes,” ujar Dina Fitriyah, mewakili teman-temannya.

Menurut dia, pare dengan nama Latin Mommordica charantia L itu mengandung karantin yang bisa membuat sebagai stimulan bagi sel beta di pankreas agar bisa menghasilkan insulin lebih banyak.

“Orang yang menderita diabetes itu, sel betanya tidak bisa menghasilkan insulin secara normal. Bahkan untuk diabetes yang sangat parah, tidak bisa menghasilkan sama sekali,” ucap dia.

Namun, jika pare hanya dibuat sayur atau lalapan, kata Dina, terkadang banyak yang tidak suka karena rasa pahitnya itu. “Makanya, kini kita bikin ekstraknya,” ujar dia.

Sebelum dijadikan ekstrak Teh Pare tersebut, kelima mahasiswi itu memilih pare, buah mirip mentimun, yang masih segar. Pare yang segar bisa ditandai dari warnanya yang masih hijau dan bentuknya masih utuh.

Selanjutnya, kata dia, pare itu dicuci bersih, lalu dipotong dalam bentuk kecil-kecil. Setelah itu, dijemur sampai kering. Penjemuran itu bisa di bawah terik matahari atau dengan cara dimasukkan ke dalam oven.

Setelah kering, buah pare kemudian ditumbuk atau diblender sampai halus. “Untuk menetralkan rasa pahitnya itu, kami tambahkan juga daun jambu biji sebagai campuran,” kata Dina, menjelaskan.

Akhirnya, serbuk halus pare dicampur daun jambu biji itu dimasukkan ke kantong seperti pada teh celup. “Nanti tinggal dicelupkan ke air panas baru diminum. Teh ini tidak usah pakai gula karena ini juga sebagai obat,” ujar dia.

Bermula Tugas Dosen Para mahasiswa perguruan tinggi di bawah naungan organisasi keagamaan Nahdlatul Ulama atau NU itu memilih pare sebagai bahan untuk mengikuti PKM itu bukan tanpa alasan.

Sebagai mahasiswi yang mempelajari ilmu di bidang kesehatan, maka mereka pun mencari bahan yang bermanfaat bagi kesehatan, namun tidak banyak orang yang suka untuk mengonsumsi bahan tersebut.

Sebelumnya, salah seorang dosen meminta mereka untuk mencari literatur tentang kandungan dan manfaat buah pare yang sudah diteliti sebelumnya.

Dina dan kawan-kawan pun melakukan pelacakan ke perpustakaan dan juga melakukan penelusuran lewat internet.

“Di tengah proses itu, kami mendengar ada program kreativitas mahasiswa, maka kami konsultasi ke dosen. Kami juga sepakat menggunakan pare untuk ikut program itu,” tuturnya.

Dalam penelusuran itu, mereka menemukan fakta mengenai kandungan karantin di dalam buah pare. Selain itu, pare ternyata juga banyak mengandung vitamin, di antaranya A, B dan C.

“Per 100 gram bagian buah yang dapat dimakan mengandung 29 kal kalori, 1,1 gram protein, 0,3 gram lemak, 6,6 gram karbohidrat, 45 miligram kalsium, 64 miligram fosfor, 1,4 miligram zat besi,” katanya.

Selain itu, kata dia, buah pare juga bisa mempercepat keluarnya glukosa melalui peningkatan metabolisme glukosa atau memasukkannya ke dalam deposit lemak.

Selain teknis produksi agar pare bisa dikonsumsi menjadi teh, dalam proposal itu mahasiswa juga diharuskan mencantumkan target pasar yang akan dibidik dan juga dana yang dibutuhkan. Setelah dikalkulasi, akhirnya dana yang dibutuhkan sebesar Rp6.236.200.

Mereka menyebut Tere berpotensi disukai oleh masyarakat, karena penyakit diabetes saat ini sudah banyak diderita masyarakat tanpa memandang usia dan jenis kelamin.

“Tere ini bisa menjadi alternatif obat untuk diabetes,” papar Dina yang bersama kawan-kawannya melakukan uji pengenalan produk di kalangan kampus.

Selain itu, mereka juga menitipkan produknya ke apotek sekitar kampus dan di lingkungan tempat tinggal mereka. Promosi lain juga dilakukan lewat brosur, media sosial, pasar online dan sebagainya.

“Produksinya memang masih belum massal, karena kami masih menunggu kepastian kontrak dengan Kemenristek Dikti tentang hibah yang akan diberikan,” katanya lagi.

Artikel ini ditulis oleh:

Antara