Gedung baru Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) itu dilengkapi dengan 30 ruang sidang dengan fasilitas standar meski tidak semua dipakai untuk persidangan kasus tindak pidana korupsi. "Rencana pindahan di kantor baru mulai 16 November 2015.

Jakarta, Aktual.com – Senior Manajer PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II, ‎Haryadi Budi Kuncoro dan Direktur Operasi dan Teknik Pelindo II, Ferialdy Norlan didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Utara, telah melakukan tindak pidana korupsi dalam proyek pengadaan 10 unit mobil crane.

“Patut diduga pengadaan 10 mobil crane tersebut tak sesuai perencanaan dan terjadi penggelembungan anggaran,” ucap Jaksa Pakpahan saat sidang pembacaan dakwaan, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (28/11).

Jaksa menjelaskan, dugaan korupsi pengadaan mobile crane ini berawal pada 2011 silam, ketika Direktur Utama Pelindo II RJ Lino mengusulkan pengadaan mobil crane dengan kapasitas 25 dan 65 ton untuk keperluan cabang Pelindo II.

Selanjutnya, Ferialdy meminta Haryadi untuk melakukan analisa terhadap kebutuhan cabang Pelindo II, sekaligus dengan spesifikasi mobile crane berikut estimasi biayanya.

Tapi sayangnya, hasil kajian menyebutkan bahwa hampir seluruh cabang tidak membutuhkan mobil crane. Akan tetapi, pengadaan mobil crane tersebut tetap dimasukkan dalam Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP).

Dalam RKAP tersebut dipaparkan bahwa pengadaan mobile crane itu membutuhkan anggaran sebersar Rp58,9 miliar. Sedianya, mobil crane ini akan digunakan di sejumlah cabang pelabuhan, seperti pelabuhan Panjang, Palembang, Pontianak, Bengkulu, dan sejumlah cabang lain.

Hingga kemudian sampailah pada tahap pelelangan. Menurut Jaksa, pada tahapan ini juga diselimuti manipulasi.

Pasalnya, pemenangan tender pengadaan 10 mobile crane ini, PT Guangxhi Narishi Century M&E Equipment (GNCE) tak memenuhi syarat keuangan dan syarat teknis seperti pengadaan lima unit mobil crane dalam lima tahun terakhir. Usut punya usut, ada peranan Haryadi sehingga PT GNCE memenangkan proyek tersebut.

Haryadi ternyata mencocokan spesifikasi teknis mobil crane dalam dokumen syarat pelelangan dengan spesifikasi mobil crane yang dijual PT GNCE, Harbin Construction Machinery Co. Ltd (HCM).

Selanjutnya pada 8 Juni 2012 Pelindo II dan PT GNCE melakukan perjanjian dengan nilai kontrak sebesar Rp45,6 miliar. Kontrak itu meliputi 10 unit mobil crane beserta pengirimannya, sertifikasi pemakaian alat pengangkutan, garansi, hingga aksesoris alat.

Tak sampai disitu upaya licik Haryadi dan Ferialdy. Usai perjanjian, Ferialdy lalu mengajukan pembayaran uang muka sebesar Rp9,13 miliar. Tapi ternyata, pembayaran uang muka itu tidak didukung jaminan uang muka dari PT GNCE ke Pelindo II.

Bahkan, Ferialdy juga melakukan pembayaran tahap I sebesar 75 persen dan tahap II sebesar 5 persen. Padahal di satu PT GNCE belum melakukan performance test maupun pelatihan apapun terkait proyek ini.

“Setelah dilakukan pemeriksaan pada tujuh mobil crane tipe QYL65 dan tiga mobil crane tipe QYL25 ternyata tidak layak operasi, karena mengalami kondisi tekuk pada pipa penyusun lengan,” ucap Jaksa Pakpahan.

Setelah ditelurusi lebih jauh, spesifikasi teknis dan kinerja dua tipe mobil crane tersebut juga tidak sesuai rencana kerja dan syarat teknis pengadaan. Bahkan, semua mobil crane tersebut tidak sesuai dengan data yang ada di buki petunjuk.

Atas dugaan manipulasi pengadaan 10 unit mobile crane ini, ada taksiran kerugian keuangan negara hingga mencapai Rp37,9 miliar dari nilai proyek Rp58,9 miliar.

Atas perbuatan mereka, keduanya terancam dipidana sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat 1 juncto Pasal 18 ayat 1 huruf b Undang-undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999, sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Laporan: M Zhacky Kusumo

Artikel ini ditulis oleh:

Nebby