Jakarta, aktual.com – Danny Praditya menegaskan tidak ada aliran dana maupun keuntungan pribadi yang ia terima dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi kerja sama jual beli gas antara PT Perusahaan Gas Negara dan PT Inti Alasindo Energy (IAE)/Isargas Group.
Penegasan tersebut disampaikan Danny saat sidang lanjutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat, Senin, 29 Desember 2025.
Dalam persidangan itu, mantan Direktur Komersial PGN tersebut membacakan nota pembelaan pribadi serta pledoi penasihat hukum dalam perkara Nomor 87/Pid.Sus-TPK/2025/PN/JKT/PST yang menjeratnya.
Pledoi yang dibacakan mengusung judul “Jalan Terjal Insan BUMN”, yang menggambarkan posisi terdakwa sebagai profesional BUMN yang dihadapkan pada risiko hukum akibat keputusan bisnis strategis.
Sebelumnya, Danny dituntut pidana penjara selama tujuh tahun enam bulan. Dalam pledoinya, ia menyatakan berdiri di hadapan majelis hakim bukan semata sebagai terdakwa, melainkan sebagai profesional yang telah mengabdi lebih dari dua dekade di sektor energi nasional.
“Saya tidak bersalah melakukan tindak pidana korupsi. Tidak ada aliran dana kepada saya, kepada keluarga saya, maupun kepada pihak lain yang memiliki hubungan dengan saya,” tegas Danny dalam persidangan.
Danny meminta majelis hakim menilai perkara secara menyeluruh, termasuk niat di balik pengambilan keputusan bisnis, rekam jejak pengabdian di BUMN, serta fakta tidak adanya keuntungan pribadi dari kerja sama PGN–IAE.
Ia juga menegaskan masih terdapat ruang pemulihan melalui mekanisme perdata, sehingga memohon agar dibebaskan dari segala tuntutan hukum (vrijspraak) atau setidaknya dilepaskan dari tuntutan hukum (onslag).
Tim penasihat hukum menilai dakwaan Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU Tipikor dan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP tidak terbukti secara sah dan meyakinkan berdasarkan fakta persidangan.
Salah satu poin utama pembelaan adalah pengakuan Jaksa Penuntut Umum yang menyatakan tidak ditemukan aliran uang maupun kekayaan yang diterima Danny Praditya dari transaksi jual beli gas tersebut.
Selain itu, pembayaran uang muka sebesar US$15 juta ditegaskan sebagai piutang usaha, bukan kerugian negara yang bersifat final, karena dicatat sebagai advance payment pembelian gas dalam laporan keuangan PGN tahun 2020 dan berstatus recoverable.
Karena itu, menurut tim pembela, perkara ini lebih tepat diposisikan sebagai risiko bisnis dan hubungan perdata, bukan tindak pidana korupsi.
Kuasa hukum FX L. Michael Shah menegaskan sejak awal perkara PGN–IAE merupakan sengketa kontrak bisnis, bukan perbuatan pidana, serta tidak ada aliran dana kepada terdakwa.
“Advance payment adalah uang muka jual beli gas, bukan pinjaman, dan unsur kerugian negara tidak terpenuhi karena gas telah mengalir serta mekanisme pemulihan kontrak masih tersedia,” ujar Michael.
Tim pembela juga menyoroti kelemahan formil Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK yang dijadikan dasar dakwaan, karena tidak dibubuhi tanggal dan stempel resmi serta mengabaikan surat Dirjen Migas September 2021.
Surat tersebut disebut justru memperbolehkan penyaluran gas PGN–IAE dengan skema tertentu, sehingga konstruksi kerugian negara dinilai dibangun dari asumsi, bukan fakta final.
Dalam pledoi, Danny menegaskan keputusan Direksi PGN telah memenuhi prinsip Business Judgment Rule (BJR), karena diambil secara kolektif-kolegial, dengan itikad baik, kehati-hatian, dan tanpa benturan kepentingan.
Sejumlah ahli yang dihadirkan di persidangan turut memperkuat pembelaan tersebut. Ahli hukum administrasi negara Dr. Dian Puji Simatupang menegaskan kerugian negara dalam perkara tipikor harus nyata, pasti, dan terukur.
“Kerugian negara tidak boleh dibangun dari potensi atau asumsi, terlebih ketika mekanisme pemulihan secara perdata masih tersedia,” kata Dr. Dian Puji.
Sementara itu, ahli hukum korporasi Prof. Nindyo Pramono menekankan bahwa penerapan Business Judgment Rule melindungi direksi selama keputusan diambil dengan itikad baik dan berbasis informasi memadai.
“Risiko bisnis yang muncul kemudian tidak serta-merta dapat dipidana sepanjang tidak ada niat jahat dan konflik kepentingan,” ungkap Prof. Nindyo.
Tim pembela berharap majelis hakim dapat menarik garis tegas antara risiko bisnis dan tindak pidana korupsi, sehingga putusan perkara ini menjadi rujukan penting bagi kepastian hukum dan tata kelola BUMN ke depan.
Artikel ini ditulis oleh:
Rizky Zulkarnain

















