Jakarta, Aktual.com — Mantan General Manajer PT Hutama Karya, Budi Rachmat Kurniawan dituntut hukuman pidana selama lima tahun penjara dan denda sebesar Rp 300 juta subsidair enam bulan kurungan, oleh Jaksa Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi.
Jaksa KPK meyakini Budi telah melakukan pelanggaran terhadap Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999, sebagaimana diubah ke dalam UU Nomor 20 Tahun 2001, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.
“Menuntut agar Majelis Hakim menyatakan Terdakwa Budi Rachmat Kurniawan secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi, sebagaimana dakwaan kedua,” papar Jaksa KPK, Dzakiyul Fikri, saat membacakan amar tuntutan untuk Budi, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (25/1).
Selain hukuman badan dan denda, Jaksa lembaga antirasuah juga membebankan uang pengganti kepada Budi sebesar Rp 576 juta. Apabila tidak dibayarkan akan diganti dengan hukuman kurungan selama satu tahun.
Adapun pertimbangan lain sehingga tuntutan tersebut diberikan kepada Budi, lantaran dirinya dianggap tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan korupsi.
Dalam kasusnya, Budi dituduh telah melakukan pengaturan dalam lelang proyek pembangunan Balai Pendidikan dan Pelatihan Ilmu Pelayaran (BP2IP) tahap III, pada Pusat Pengembangan SDM Perhubungan Laut di Badan Pengembangan SDM Kementerian Perhubungan, di Sorong, Papua.
Atas pengaturan lelang itu, negara mengalami kerugian sebesar Rp 40.193.589.964,92.
Dalam surat dakwaan, Budi melakukan pengaturan lelang bersama petinggi Kementerian Perhubungan, yakni Direktur Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan, Bobby Reynold Mamahit.
Proyek yang ‘dimainkan’ Budi bernilai Rp 112.253.337.000. PT Hutama memperoleh penerimaa riil dari proyek tersebut sejumlah Rp 87.962.242.263.
Namun, biaya pengerjaan proyek BP2IP yang sebenarnya hanya Rp 68.499.538.702. Sehingga terdapat selisih sebagai kerugian negera sejumlah Rp 19.462.703.561.
Melaui tangan Budi, PT Hutama juga membuat kontrak fiktif dengan perusahaan rekanan yang jumlahnya sebesar Rp 10.238.4888.644. Perusahaan berplat merah itu juga menggelembungkan biaya operasional senilai Rp 7.401.131.026. Kedua angka tersebut juga termasuk kerugian negara.
Selain itu, PT Hutama juga belum menyelesaikan beberapa pengerjaan yang termasuk ke dalam proyek pembangunan BP2IP itu. Pekerjaan mekanikal dan elektrikal Rp 1.443.992.680, pengerjaan struktur Rp 919.113.191,03 serta pekerjaan arsitektur Rp 728.160.862,89.
Sehingga kerugian keuangan negara seluruhnya, yang dihitung berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan Investigatif dalam rangka penghitungan kerugian negara oleh Badan Pemeriksa Keuangan Nomor 84/HP/XIV/08/2015 pada 4 Agustus 2015 atas pembangunan BP2IP, yakni sebesar Rp 40.193.589.964,92.
Artikel ini ditulis oleh:
Nebby