Gubernur Aceh periode 2007-2012 Irwandi Yusuf meninggalkan Gedung KPK usai menjalani pemeriksaan di Jakarta, Rabu (11/5). Irwandi diperiksa sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi pembangunan dermaga Sabang. ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/ama/16

Jakarta, Aktual.com – Gubernur Aceh periode 2009-2012 Irwandi Yusuf disebut menerima keuntungan sebesar Rp14,069 miliar dari pembangunan Dermaga Bongkar (lanjutan) pada Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang tahun anggaran 2011.

“Memperkaya orang lain yaitu Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) Irwandi Yusuf sebesar Rp14,069 miliar yang diserahkan secara bertahap melalui Izil Azhar di rumah Izil Azhar di dekat bekas Terminal Setui Banda Aceh,” demikian tertulis dalam surat dakwaan Bupati Bener Meriah, Aceh, Ruslan Abdul Gani, Kamis (4/8).

Ruslan Abdul Gani adalah mantan Kepala Badan Pengusahaan Kawasan Sabang (BPKS) tahun 2010-2011 yang didakwa telah merugikan keuangan negara sejumlah Rp116,016 miliar, salah satunya karena memberikan uang kepada Irwandi Yusuf, dari proyek dengan nilai total Rp263,8 miliar.

Dakwaan tersebut dibacakan pada Rabu (3/8) oleh Jaksa Penuntut Umum KPK Kiki Ahmad Yani, I Wayan Riana, Ferdian Adi Nugroho dan Amir Nurdianto.

Awalnya Ruslan diangkat sebagai BPKS berdasarkan Surat Keputusan Irwandi Yusuf sebagai Gubernur NAD dan selaku Ketua Dewan Kawasan Sabang.

Ruslan kemudian mengusulkan proyek pembangunan Dermaga Bongkar Sabang pada kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang.

Proyek itu sejak 2004-2010 dikerjakan oleh kontraktor yang sama yaitu Nindya Sejati JO (joint operation) yaitu kerja sama operasi PT Nindya Karya dan PT Tuah Sejati karena ditunjuk langsung oleh BPKS.

Sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), pembangunan Dermaga Bongkar Sabang adalah Ramadhani Ismy dan tetap menunjuk Nindya Sejati JO sebagai kontraktor dengan cara penunjukkan langsung.

Ruslan juga memerintahkan PPK proyek yaitu Ramadhani Imsy untuk membuat harga perkiraan sendiri (HPS) berdasarkan harga yang telah digelembungkan yaitu sebesar Rp264,76 miliar yang dibuat oleh staf ahli PT Ecoplan Rekabumi Interconsult, padahal harga tersebut diperoleh dari Kepala Proyek pembangunan Dermaga Sabang yang merupakan pegawai PT Nindya Karya yaitu Sabir Said.

Kontrak bahkan mengalami tiga kali adendum karena perubahan volume pekerjaan dan perubahan harga yang bertambah sehingga totalnya mencapai Rp285,84 miliar.

Dalam pelaksanaan pekerjaan, Nindya Sejati JO sama sekali tidak melaksanaan pekerjaan namun mengalihkan (subkontraktor) seluruh pekerjaan utama kepada perusahaan lain yaitu PT Budi Perkasa Alam, PT Mitra Mandala Jaya, PT Kemenangan dan PT Wika Beton.

Konsultan pengawas yaitu PT Atrya Swacipta Rekayasa (ASR) bahkan merupakan perusahaan milik istri Ananta Sofwan yaitu Henny Sofwan, dan Ananta Sofwan bekerja sebagai salah satu tenaga ahli dan konsultan pengawas PT ASR.

Oleh karena itu, laporan kemajuan yang disusun konsultan pengawas tidak dibuat dengan sebenarnya dan memasukkan tenaga ahli yang tidak pernah ikut melakukan pengawasan.

Namun Nindya Sejati JO tetap menerima pempayaran yaitu sejumlah Rp262,1 miliar, padahal uang yang benar-benar digunakan hanya sebesar Rp147,461 miliar.

Atas jasanya tersebut, Ruslan menerima “commitment fee” sebesar Rp5,3 miliar yang diserahkan perwakilan PT Nindya Karya Sabir Said di kantornya.

Selain itu ada pihak-pihak lain yang menerima keuntungan dari proyek tersebut yaitu Kuasa Nindya Sejati JO Heru Sulaksono sebesar Rp19,88 miliar, PPK proyek Ramadhani Ismy sebesar Rp3,821 miliar, Irwandi Yusuf selaku Gubernur NAD sebesar Rp14,069 miliar, Ananta Sofwan sebesar Rp250 juta dan pihak-pihak yang terkait BPKS sebesar Rp9,25 miliar dan pihak-pihak lain sebesar Rp26,315 miliar.

Kemudian, PT Nindya Karya diuntungkan sebesar Rp15,512 miliar, PT Tuah Sejati sebesar Rp21,079 miliar yang seluruh pemberian uang diketahui Board of Management (BoM) Nindya Sejati JO yaitu Heru Sulaksono dan Zainuddin Hamid.

Atas perbuatan tersebut, Ruslan diancam pidana dalam pasal 2 ayat 1 atau pasal 3 jo pasal 18 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar.

(Ant)

Artikel ini ditulis oleh:

Antara
Nebby