Kepada Pansus BLBI DPD RI, Fuad Bawazier mengaku bahwa pernah menulis surat kepada Presiden Soeharto untuk meminta tindak lanjut laporan dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Dari Rp 109 Triliun penyaluran tersebut hampir 50 persen nya diberikan kepada dua bank yakni BDNI dan Bank Danamon.

Dari jumlah itu, BDNI mendapatkan pinjaman sebanyak Rp 27,6 Triliun dan Bank Danamon sebanyak Rp. 25,8 Triliun.

“Namun berdasarkan laporan dari Tim Audit Internasional dilaporkan aset setelah pemeriksaan BDNI hanya Rp 5,9 Triliun dan Bank Danamon hanya Rp 13,3 Triliun. Jadi pada saat itu saja, hanya untuk 2 bank tersebut pemerintah harus menanggung kerugian sebesar Rp. 85 Triliun dari jumlah Rp. 48,2 Triliun ditambah Rp. 37,3 Triliun,” papar Fuad Bawazier.

Menurut Fuad, BLBI sebetulnya terang-terangan membuat perbuatan kriminal, karena pada saat itu bank-bank melakukan penyimpangan. Misalnya, Bank Danamon dan BDNI menggunakan skema ambil kredit terhadap banknya sendiri dengan memanfaatkan karyawan tukang parkir dan sebagainya.

“Atas kejadian itu harusnya BI mengambil tindakan, namun ada pertimbangan besar karena atas dasar takut turunnya kepercayaan masyarakat. Karena pertimbangan tersebut, BI mengambil tindakan untuk menalangi bank-bank itu. Kalau melihat tanggapan Presiden Soeharto pada saat itu sangat marah melihat kasus BLBI ini. Sampai merespons orang itu baiknya dikirim ke Nusa Kambangan saja,” papar Fuad.

Artikel ini ditulis oleh:

Zaenal Arifin