Dengan keluarnya dua dokumen tersebut, termasuk R&D, maka MSAA BDNI telah selesai (final closing). Pendapat ini juga dikuatkan hasil audit BPK RI pada 31 Mei 2002 No 02/Auditama II/A1/05/2002 yang menyatakan “BPK RI berpendapat MSAA BDNI telah selesai (final closing) tanggal 21 Mei 1999 mengingat pemegang saham (Sjamsul Nursalim) dan BPPN telah sepakat bahwa syarat utama final closing MSAA BDNI telah dilaksanakan”.

Dua dokumen ini telah disampaikan kepada saksi Bambang Subianto, dan Bambang Subianto membenarkan tidak bisa dituntut lagi. “Tidak bisa dituntut lagi (SN), arti (R&D) bahasa awamnya sudah beres yang mulia,” kata Bambang Subianto.

Mantan Kepala BPPN Pertama ini menyatakan bahwa MSAA adalah perjanjian antara pemerintah (BPPN) dengan para obligor penerima BLBI. MSAA menggunakan pendekatan di luar pengadilan hasil keputusan rapat Menko Ekuwasbang R Hartarto dengan Menkeu, Gubernur BI, Kepala BPKP, Jaksa Agung di masa akhir Presiden Soeharto 1998.

Saat itu disampaikan pengembalian dana BLBI jika dengan cara normal lewat pengadilan akan panjang dan lama. “Maka rapat memutuskan menggunakan cara nego langsung kepada pemilik Bank penerima BLBI. Atas dasar itulah muncul perjanjian MSAA”, kata Bambang melanjutkan.

Garis besar MSAA menurut Menteri Keuangan di era Presiden BJ Habibie ini, yakni para obligor itu diminta menyerahkan aset-aset mereka para pemegan saham pengendali. Berapa nilai aset dan lain-lain detilnya tidak diketahui oleh Bambang. Tetapi berdasarkan perhitungan BPK ada sebesar Rp 144 triliun.

Angka ini yang ditagihkan BI kepada Menteri Keuangan yang membuat program penjaminan. “Saya menghadapi dilema, kalau saya tidak setujui BI bangkrut. Kalau bank sentral bangkrut negara bubar. Tetapi saya berikan catatan angka tersebut adalah angka sementara sampai ada penghitungan lembaga independen. Ini yang membuat saya selamat yang mulia” katanya di depan majelis hakim yang dipimpin hakim Suyanto SH.

(Wisnu)

Artikel ini ditulis oleh:

Antara