Jakarta, Aktual.com — Anggota Panja RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dari F-PKB, Malik Haramain menyebut pihak DPR siap menggolkan Perppu soal kebiri bagi penjahat seksual ini menjadi UU, jika pemerintah mengajukan segera ke Sidang Paripurna DPR.
Menurut Malik, terlepas dari pro-kontra soal isu kebiri ini, publik harus mengawal konsistensi pemerintah dalam melindungi kalangan anak-anak dari para penjahat seksual. Makanya, langkah pertamanya, Perppu soal kebiri ini harus jadi UU.
“Mudah-mudahan sebelum reses sudah digolkan menjadi UU di Sidang Paripurna DPR. Saya rasa semua fraksi akan mendukungnya,” tandas dia di acara seminar Penghapusan Kekerasan Seksual terhadap Perempuan dan Anak, di Jakarta, Selasa (31/5) seperti dalam keterangan yang diterima Aktual.com.
Jika menjadi UU, kata dia, semua elemen bangsa ini harus patuh dan tunduk, tidak ada yang bisa mengingkarinya. Karena semua rakyat Indonesia akan terikat terhadap UU ini.
Bahkan, kata dia, untuk profesi dokter yang punya kemampuan untuk melakukan kebiri itu pun tidak layak untuk menolaknya. Hal ini ia tegaskan mengingat adanya dokter dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang kabarnya menolak mengikuti Perppu ini.
“Belakangan saya dengar, dari kalangan IDI ada yang menolak untuk menjadi eksekutor (kebiri). Jelas tidak boleh seperti itu. Kalau alasan kode etik, tinggian mana kode etik dan UU? Kalau sudah jadi UU semua warga negara harus patuh,” cetus dia.
Di tempat yang sama, Ketua Umum Perempuan Bangsa PKB, Siti Masrifah menegaskan, hingga Mei saja aksi kekesaran dan pelecehan seksual masih marak terjadi.
“Saya tadi googling. Ternyata kejadian (kekerasan seksual) di bulan ini saja masih marak terjadi. Saya sangat miris melihatnya. Karena faktanya, kasus kekerasan seksual terhadap anak merupakan kasus yang peningkatannya sangat signifikan,” keluh dia.
Bahkan kejadian-kejadian tersebut, kata dia, dengan modus operandi yang di luar batas keperikemanusiaaan. “Data dari Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan pada 2015 mencapai 321.752 kasus. Belum yang di tahun ini yang makin banyak,” tegas dia.
Dari data-data tersebut, lanjut dia, kekerasan seksual dalam bentuk pemerkosaan sebanyak 2.399 (72%), pencabulan sebanyak 601 kasus (18%), pelecehan seksual 166 kasus (5%). “Itu data di tingkat personal. Sedang di tingkat ranah publik sebanyak 5.002 di mana sebanyak 61% adalah jenis kekerasan terhadap perempuan dalam bentuk kekerasan seksual,” jelas Masrifah.
Sementara data yang disodorkan oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak justru lebih banyak lagi. Kata dia, ada sebanyak 2.899 kasus yang terjadi di tahun 2015. Yang terdiri dari 36% bentuk pencabulan, 9% bentuk pemerkosaan, dan 1% bentuk inses (kekerasan seksual di keluarga).
“Dan faktanya, kekerasan seksual itu hampir merata dari Sabang sampai Merauke. Ini yang membuat kita semua miris,” jelas dia.
Menurut dia, ada beberapa alasan terjadinya kasus kekerasan seksual itu. Pertama, terdorong karena melihat gambar atau video porno (50%), kedua, pelaku korban predator seksual yang kembali melakukan hal yang sama akibat pernah menjadi korban, dan ketiga, akibat korban konflik keluarga.
“Yang ketiga ini mereka melakukan itu karena terpengaruh narkotika, minuman keras, dan pornografi,” ujar dia.
Direktur Rehabilitasi Sosial Anak Kementerian Sosial, Edi Suharto menyebutkan, saat ini dari total penduduk yang berjumlah 255 juta jiwa ada sekitar 84 juta adalah anak-anak.
Jumlah anak-anak itu, ujar dia, yang tentunya harus dilindungi, karena akan menjadi target para penjahat seksual.
“Apalagi dari jumlah tersebut sebanyak 4,1 juta adalah anak terlantar yang rentan menjadi korban. Dan biasanya para pelaku itu akibat terpengaruh video porno atau minuman keras. Seperti yang menimpa kasus Yuyun,” papar Edi.
Artikel ini ditulis oleh:
Arbie Marwan