Jakarta, Aktual.com – Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nusa Tenggara Barat melansir dari total 896 ribu hektare hutan di Provinsi NTB dalam kondisi kritis, sekitar 35-40 persennya berada di Pulau Sumbawa.
Kondisi demikian semakin miris, dari 896 ribu hektare hutan itu, 580 ribu hektare merupakan hutan perawan dan 316 ribu hektare rusak akibat pertanian lahan kering. Kritisnya kondisi hutan itu akibat dari aksi pembalakan liar dan ilegal logging.
Kalapnya aksi pembantaian hutan itu, areal perkebunan dan perbukitan yang semula ada pohon, ikut menjadi korban. Padahal masyarakat setempat dahulunya gemar menanam kayu jati dan sengon.
“Padahal, masyarakat Pulau Sumbawa, mulai Kabupaten Sumbawa, Dompu, Kota Bima dan Kabupaten Bima, dahulunya sangat gemar menanam kayu jati dan sengon,” kata Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Madani Mukarom.
Saat ini, kebiasaan menanan di kebun milik warga sudah mulai pudar akibat adanya provokasi untuk mengubah perilaku dari menanam kayu menjadi menanam jagung.
Kondisi hutan di Pulau Sumbawa itu membuat keprihatinan juga pimpinan Komisi IV DPRD Nusa Tenggara Barat Nurdin Ranggabarani yang menyatakan kondisi hutan di Sumbawa sudah mengalami keadaan darurat.
Bukti kerusakan hutan NTB didapatinya saat melakukan perjalanan dari Kabupaten Sumbawa menuju Dompu hingga Bima. Dirinya melihat pembakaran lahan yang masuk area kawasan hutan seperti menjadi pemandangan yang lazim. Tentu hal ini, diduga dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggungjawab yang ingin memperoleh keuntungan sesaat.
“Hutan dan gunung-gunung kita habis terbakar, dan hal tersebut pasti dilakukan dengan sengaja,” ucapnya.
Karena itu, politisi PPP dari dapil Sumbawa dan Sumbawa Barat ini, menilai salah satu pekerjaan rumah (PR) mendesak yang harus segera dibenahi Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTB, khususnya di bidang lingkungan, yakni bagaimana menjaga kelestarian dan fungsi hutan.
Menurut dia, sejak kewenangan bidang kehutanan berada di tangan Pemprov, berbagai kondisi kerusakan hutan, seperti pembakaran hutan untuk pembukaan lahan semakin marak terjadi di berbagai lokasi, khususnya di Pulau Sumbawa.
“Suatu saat hal ini akan menjadi salah satu pemicu bencana yang sangat mengkhawatirkan. Karena sejatinya, apa yang sedang kita lakukan saat ini, bukan cuma sekedar sengaja dan sadar mengundang bencana, tapi kita sedang menantang bencana yang lebih besar,” katanya.
Untuk itu, lanjut Nurdin Ranggabarani atau akrab disapa Bang NR ini, berharap persoalan tersebut tidak boleh dibiarkan begitu saja oleh pemerintah daerah.
“Jangan sampai hal-hal di kemudian hari yang tidak kita inginkan terjadi. Perlu diperhatikan kerusakan hutan dan gunung di Pulau Sumbawa,” ucap NR
Untuk mengatasi demikian, Madani menilai saat ini yang paling utama adalah kesadaran masyarakat untuk bersama-sama menjaga dan melindungi hutan. Sebab, untuk memulihkan kondisi hutan NTB butuh ratusan tahun baru bisa kembali seperti semula.
“Kalau andalkan petugas tidak bisa dengan luas wilayah yang harus di awasi. Aparat kita ini jumlahnya kecil. Yang perlu itu yakni kesadaran masyarakat dan komitmen itu,” katanya.
Pegiat lingkungan Fitrah Mulyadi mengungkapkan kerusakan hutan di Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat, sudah rusak parah akibat penjarahan yang diduga dilakukan oknum tidak bertanggungjawab.
“Kerusakan hutan di Kabupaten Dompu ini bukan lagi perambahan tapi sudah penjarahan,” ungkapnya.
Total kerusakan hutan di Kabupaten Dompu mencapai puluhan ribu hektare yang tersebar di delapan kecamatan, meliputi Dompu, Pajo, Hu`u, Woja, Kilo, Manggelewa, Kempo, dan Pekat.
Di tempat ini semua pohon yang ada sudah gundul, karena ditebang dan dijarah untuk lahan jagung, kata Fitrah Mulyadin.
Semenjak kewenangan hutan diserahkan kepada provinsi, tingkat kerusakan hutan yang terjadi di Kabupaten Dompu bukannya berkurang, namun justru bertambah parah. Kerusakan tersebut merambah hingga kawasan Taman Nasional Gunung Tambora.
“Ini akibat lemahnya pengawasan dari aparat kita, sehingga oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab dengan leluasa menjarah hutan. Belum lagi hutan yang ada dijadikan sebagai komoditi politik oleh oknum calon legislatif guna mendapat dukungan masyarakat pada Pemilu 2019,” katanya.
Sebagai pegiat dan aktivis lingkungan, dirinya miris atas maraknya penjarahan hutan di daerah itu.
Belum lagi ditambah sikap Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Dompu dan Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTB yang terkesan acuh, turut menambah kekecewaan para pegiat lingkungan di Kabupaten Dompu. Sebab, jika hal itu terus dibiarkan dikhawatirkan bencana banjir akan menerjang daerah itu.
“Kami melihat ada kesan pemerintah daerah membiarkan kejadian ini. Padahal, saat ini sudah memasuki musim penghujan, sehingga potensi bencana banjir, seperti yang pernah terjadi beberapa tahun lalu tinggal menunggu waktu,” katanya.
Dampak hutan kritis
Rusaknya hutan di Pulau Sumbawa khususnya Dompu, saat ini sudah dapat dirasakan dengan terjadinya banjir bandang di sejumlah dusun pada Jumat (9/11) sore sampai Sabtu (10/11) pagi.
Kondisi demikian akibat gundulnya kawasan hutan di wilayah hulu sungai dan ancaman banjir bandang terus mengancam mengingat curah hujan di wilayah Provinsi NTB dalam beberapa pekan terakhir ini tinggi.
Kepala Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup NTB Madani Mukarom di Mataram, mengatakan dari hasil foto udara terdapat sekitar 3.000 pohon jati yang rusak dan dibabat oleh warga di wilayah Kecamatan Kempo.
“Semua hutan di kawasan itu sudah rusak dan gundul. Bahkan, kerusakan parah ini terjadi di seluruh Dompu,” ungkapnya.
Ia menyebutkan sebelum terjadi banjir yang dipicu fluktuasi curah hujan selama dua minggu belakangan ini, petugas sempat mematikan api yang dibakar warga setempat di areal hutan produksi.
Namun, kata dia, terjadi insiden dengan kelompok masyarakat, yakni petugas dihadang mereka dengan membawa parang.
“Kalau di wilayah Dompu, memang banyak kasus pembakaran hutan, bahkan polisi juga dihadang oleh masyarakat. Jadi, kalau sekarang terjadi banjir akibat hujan itu sangat wajar, karena memang daerah hulunya sudah rusak,” katanya.
Ant
Artikel ini ditulis oleh:
Dadangsah Dapunta