Yogyakarta, Aktual.com — Maraknya konflik agraria di Yogyakarta pasca berlakunya UU No 13/2012 membuat sejumlah pihak menilik kembali seperti apa sesungguhnya makna keistimewaan Yogyakarta yang termaktub dalam Undang-undang khusus tersebut.

“Kita harus lihat kembali makna keistimewaan Yogyakarta, sebetulnya apa sih yang ingin ditonjolkan? Signifikansi apa sehingga Yogyakarta ini dinilai istimewa?,” kata Dianto Bachriadi, Komisioner Komnas HAM di gedung DPRD DIY, ditulis Sabtu (11/6).

Jika didasarkan pada UU No 13/12 tentang Keistimewaan DIY, menurut Dianto, makna ‘Keistimewaan’ sesungguhnya adalah keunikan budaya, dalam UU ini terdapat aturan atau kewenangan tertentu agar ‘budaya’ di Yogyakarta dapat bertahan dan dilestarikan. Karena itulah, dibentuk satu badan hukum agar Yogyakarta mempunyai legal entity yang jelas terkait keistimewaannya, yang kemudian disebut Badan Hukum Warisan Budaya.

Dengan demikian, sambung Dianto, secara logis hal-hal terkait pewarisan budaya saja yang bisa dilekatkan pada Badan Hukum Warisan Budaya tersebut. Bila terdapat kewenangan yang diberikan untuk mengurus ketentuan pertanahan, maka itu hanya terbatas pada tanah-tanah yang berkenaan langsung dengan hal pewarisan budaya atau tanah-tanah yang memang berfungsi menunjukkan eksistensi Kesultanan secara fisik (bangunan) atau tanah-tanah yang secara nyata/faktual dikuasai langsung oleh Kesultanan.

“Ditengah kerancuan yang ada sekarang maka dipersempit saja ruangnya. Artinya, bukan pada tanah-tanah non Keprabon seperti yang dijelaskan dalam UUK,” ujar Dianto.

Kerancuan yang dimaksud adalah, Kesultanan menjadi Badan Hukum Warisan Budaya sebagaimana disebut dalam UUK, sesungguhnya tidak sesuai dengan ketentuan badan hukum yang memiliki hak atas tanah menurut UUPA. Munculnya kategori Badan Hukum Warisan Budaya yang punya hak atas tanah jelas merefleksikan dihidupkannya kembali azas domein verklaring.

“Kita telah mundur satu abad ke tahun 1870 dimana domein verklaring ini menjadi prinsip hukum agraria, saya tidak melihat urgensi dan manfaat (domein verklaring) untuk kehidupan masyarakat saat ini.”

Kalau ruang pemahaman tentang Badan Hukum Warisan Budaya tersebut dapat dipersempit, barulah prinsip pokok dari UUK yang katanya untuk kepentingan rakyat dapat terwujud, atau setidaknya menghindari munculnya konflik yang berkepanjangan.

Dianto juga memberi catatan penting, yakni tanah-tanah yang telah digarap oleh masyarakat lebih dari 20 tahun dengan itikad baik maka negara berkewajiban memberikan prioritas hak kepada yang bersangkutan.

“Saya tegaskan kembali, dengan berlakunya Perda DIY No 3 tahun 1984 maka berlaku pula UUPA di Yogyakarta, segala ketentuan perundang-undangan yang mengatur tentang agraria selain UUPA dinyatakan tidak sah,” pungkas Dianto.

Artikel ini ditulis oleh:

Nelson Nafis
Arbie Marwan