Jakarta, Aktual.com — Forum Pajak Berkeadilan (FPB) meminta transparansi perpajakan tambang terkait banyaknya penambangan ilegal yang beroperasi tanpa mengikuti peraturan yang berlaku.

“Kami meminta kepada pemerintah untuk menindak tegas perusahaan yang tidak patuh dalam pembayaran pajak, perusahaan yang tidak memiliki NPWP dan tidak melaporkan SPT Pajak,” kata Koordinator Forum Pajak Berkeadilan (FPB) AH Maftuchan di Jakarta, Minggu (18/10).

Ia menjelaskan Indonesia sedang berada pada kondisi darurat aliran uang ilegal. Tahun 2003 total aliran uang ilegal dari Indonesia ke luar negeri ditengarai mencapai Rp141,82 triliun meningkat menjadi Rp227,75 triliun pada tahun 2014.

Indonesia termasuk lima negara dengan jumlah aliran uang ilegal terbesar di dunia setelah Tiongkok, Rusia, India, dan Malaysia.

Khusus untuk sektor pertambangan (migas, mineral dan batubara/bahan galian), kenaikan aliran uang ilegal sangat fantastis, kurun 2003-2014 mencapai 102,43 persen atau rata-rata setiap tahun terjadi kenaikan sebesar 8,53 persen.

Tahun 2003 total aliran uang ilegal di sektor pertambangan ditengarai mencapai Rp11,80 triliun, sedangkan tahun 2014 naik mencapai Rp23,89 triliun.

Sementara itu, menurut peneliti kebijakan ekonomi dari Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, Wiko Saputra mengatakan aliran uang ilegal di sektor pertambangan diakibatkan oleh adanya transaksi perdagangan faktur palsu (trade mis-invoicing).

Hal ini terjadi karena maraknya tambang-tambang ilegal yang beroperasi (illegal mining) dan terjadi ekspor komoditi pertambangan yang tidak tercatat.

Hal lainnya, besarnya jumlah aliran uang ilegal di sektor pertambangan juga disebabkan oleh tingginya indikasi terjadinya penghindaran pajak dan pengelakan pajak yang melibatkan perusahaan pertambangan di Indonesia.

Hal ini bisa dilihat dari data realisasi penerimaan pajak di sektor pertambangan yang hanya sebesar Rp96,9 triliun. Bandingkan dengan Produk Domestik Bruto (PDB) sektor pertambangan yang mencapai Rp1.026 triliun.

Artinya, nisbah penerimaan pajak terhadap PDB (tax ratio) sektor pertambangan hanya sebesar 9,4 persen.

“KPK menemukan masih banyak perusahaan pertambangan di Indonesia yang tidak patuh dalam pembayaran pajak. Misalnya saja, dari data hasil Koordinasi dan Supervisi KPK dengan Kementerian ESDM dan instansi terkait, dari 7.834 perusahaan yang di data oleh Direktorat Jenderal Pajak, sebesar 24 persen tidak memiliki NPWP, serta sekitar 35 persen yang tidak melaporkan SPT,” katanya.

Kondisi ini memberikan sinyal terjadinya indikasi kejahatan keuangan (financial crime) dan kejahatan perpajakan (tax evasion & avoidance) yang melibatkan perusahaan pertambangan di Indonesia, sehingga menimbulkan kerugian negara.

Selain itu aktivitas bisnis perusahaan pertambangan juga berdampak terhadap kerusakan lingkungan dan rawan terjadinya konflik lahan dan konflik sosial.

Namun, pemerintah berencana mengeluarkan RUU Pengampunan Nasional yang akan memberikan pengampunan bagi Wajib Pajak Badan/Perusahaan termasuk perusahaan pertambangan. Melihat praktik kejahatan perpajakan yang dilakukan oleh perusahaan pertambangan tidak adil jika mereka diberikan pengampunan.

Adanya wacana pemerintah untuk memberikan pengampunan pajak dan kejahatan keuangan lainnya bagi perusahaan tambang adalah akan semakin melanggengkan pelanggaran HAM korporasi tambang di Indonesia.

“Tindakan pengemplangan pajak, transaksi keuangan ilegal oleh perusahaan pertambangan akan semakin menambah panjang daftar aksi kejahatannya yang selama ini telah melakukan pengrusakan lingkungan dan kekerasan terhadap aktivis anti-tambang dan HAM. Maka pengampunan pajak bukanlah solusi tepat,” katanya.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Arbie Marwan