Diskusi GFI
Diskusi GFI

Jakarta, Aktual.com – Berlimpahnya informasi yang ada saat ini justru tidak memberikan kemudahan masyarakat dalam memilah-milih informasi yang benar maupun tidak. Akhirnya menjadikan masyarakat pasif terhadap informasi.

Hal itu menanggapi ikhwal ramainya media-media baik dari yang anti mainstream maupun media alternatif, terutama terhadap fenomena portal berita media online.

“Masyarakat sebagai penerima dan pengguna informasi justru seakan memainkan peran pasif seiring dengan menjamurnya berbagai media massa baik cetak, elektronik maupun online internet,” ujar Direktur Eksekutif Global Fulture Institute (GFI), Hendrajit dalam acara focus group discussion bertajuk ‘Rintangan dan Tantangan Perkembangan Media Tahun 2017’, di Wisma Daria, Jakarta Selatan, Jumat (21/10).

Menurutnya, paradoks yang terlihat pada masyarakat era digital yang sesungguhnya sangat haus informasi, justru cenderung mengkonsumsi sumber-sumber informasi dan pemberitaan yang tidak memperdulikan kualitas informasi, sehingga masyarakat di era digital justru menjelma menjadi masyarakat yang tidak well-informed.

Bahkan, sambung dia, berlimpahnya informasi yang diberikan media massa atau pers justru membuat masyarakat tidak tercerahkan, sehingga menciptakan suatu masyarakat yang mudah terprovokasi korban dari sajian informasi dan pemberitaan berbagai media massa.

Dalam kesempatan yang sama, Peneliti dari LP3ES, Rahardi Teguh Wiratama mengatakan bahwa pertumbuhan media tidak terlepas dari pembentukan demokrasi di Indonesia, merupakan prodak kebebasan berpendapat dan mencari informasi.

“Kalau melihat problematik pers saat ini tidak bisa dipisahkan dengan perubahasan sosial di Indonesia, dan tidak mungkin membahas pers saat ini, tanpa mengikutkan bagaimana sejarah pers di Era Orba, karena wajah pers hari ini merupakan perubahan sosial sejak di Orba,” kata Rahardi.

Lalu, karena pers merupakan prodak demokrasi, Apakah pers saat ini menuju tahap kematangan?.

“Kalau ada asumsi bahwa demokrasi di Indonesia belum terkonsolidasi, banyaknuya sengketa di Pilkada terkait hubungan SARA dan tetek bengeknya yang terkandang mengandung konflik, ya itu lah pers sebagaimana wajah pers bisa dilihat dari wajah demokrasi itu sendiri,” papar dia.

“Saking banyaknya informasi yang diberikan pers, sehingga kita tidak dapat memilih mana informasi yang akurat mana yang sudah tersortir,”tandas Rahardi itu.

(Laporan: Novrizal)

Artikel ini ditulis oleh:

Novrizal Sikumbang
Eka