Jakarta, Aktual.com –
Cahaya kehidupan public menggelapkan segalanya dan hanya cahaya yang berasal dari orang mati menerangi suatu zaman pada tahun tertentu.
(Hannah Arendt, Filosof Politik Amerika Serikat)
Menghidupkan politik manusia hidup seringkali lebih baik dikerjakan oleh para pendahulunya yang sudah mati, begitu kata Hannah Arendt.
Di tengah-tengah semakin terpuruknya perekonomian nasional saat ini, menghadirkan kembali seorang sosok perintis di sektor perekonomian Indonesia pasca kemerdekaan, apalagi yang pernah merintis tumbuhnya koperasi sebagai sokoguru perekonomian nasional, kiranya bukan suatu hal yang berlebihan. Salah satunya, Margono Joyohadikusumo, pendiri Bank Negara Indonesia(BNI) pada 1946.
Margono, yang juga dikenal sebagai ayahanda Begawan Ekonomi Sumitro Joyohadikusumo dan kakek dari mantan Pangkostrad Letjen(purn) Prabowo Subianto, lahir pada 16 Mei 1894 di daerah Banyumas-Jawa Tengah, dan wafat pada 1978. Margono dibesarkan dalam kalangan keluarga asisten wedana yang kala itu tergolong klas priyayi, bersekolah di Europese Lagere School(Sekolah Dasar Belanda), yang kemudian dilanjutkan ke sekolah bagi para calon pegawai pemerintahan kolonial Belanda, Opleidingschool voor Inlandse Ambtenaren(Osvia).
Namun bertentangan dengan maksud diadakannya sekolah seperti Osvia, Margono memilih tidak bekerja sebagai pegawai pangrehpraja, melainkan bergiat sebagai pengurus pemberian kredit rakyat antara 1930 hingga 1942. Rupanya gen leluhurnya yang ikut tergabung dalam perlawanan yang dipimpin Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa 1825-1830 melawan pemerintahan kolonial Belanda, menurun juga pada putra Banyumas tersebut. Menolak bergabung dalam ilkatan apapun dengan pihak Belanda.
Begitupun, karena pemerintah kolonial Belanda mengira bahwa Margono memilih bergiat di bidang perkreditan rakyat semata didorong oleh passion dan minatnya di bidang perekonomian rakyat, lalu dikirim mengikuti Kongres Koperasi Internasional di Glasgow, Skotlandia, Inggris.
Alhasil, disebabkannya minat dan ketertarikan khusus pada bidang perekonomian rakyat dan koperasi, tidak mengherankan ketika bisa berteman dan bersenyawa dengan beberapa tokoh pergerakan kemerdekaan nasional Indonesia seperti Dr Ciptomangunkusumo, Dr Sutomo, Ki Hajar Dewantara dan Haji Agus Salim. Sehingga kesadaran dan wawasan kebangsaannya semakin lama semakin menguat seiring perkembangan waktu.
Ketika Jepang menjajah Indonesia sejak 1942 menggantikan Belanda, Margono yang kala itu masih bekerja pada bank perkreditan rakyat Belanda Volkscredietbank, oleh Jepang diganti namanya jadi Syiomin Gnko, yang artinya Bank Rakyat. Agaknya jalan yang membentang di hadapan Margono, selalu seputaran sektor perbankan dan perkreditan rakyat. Bahkan ketika pada 1943 Margono bekerja pada Kraton Mangkunegara di Solo, juga menjabat sebagai Kepala Bagian Urusan Ekonomi. Artinya, tetap saja di sektor ekonomi.
Seiring dengan semakin gencarnya desakan berbagai kalangan pergerakan kemerdekaan nasional agar Indonesia menyatakan kemerdekaannya, apalagi ketika ada indikasi kuat Jepang mulai mengalami kekalahan di berbagai fron pertempuran terhadap pasukan sekutu yang dimotori Inggris dan Amerika Serikat, maka Margono kemudian bergabung dalam Chuoo Sangiin yang dibentuk oleh bala tentara Jepang, mewakili Kraton Mangkunegara, Menariknya, meski semula merupakan badan bentukan Jepang, namun kemudian Chuoo Sangiin merupakan cikal bakal terbentunya Badan Persiapan untuk Kemerdekaan Indonesia(BPUPKI). Di badan baru yang dimotori oleh Bung Karno tersebut, Margono tercatat sebagai salah satu anggotanya. Sehingga sejarah kelak mencatat Margono sebagai salah seorang Bapak Pendiri Bangsa selain Bung Karno, Bung Hatta, Haji Agus Salim, Dr Sam Ratulangi, dan lain-lain.
Ketika Indonesia Merdeka pada 17 Agustus 1945, dan sehari kemudian, dibentuk alat-alat kelengkapan negara, Margono diangkat sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Agung yang pertama di era Indonesia Merdeka.
Pada saat berlangsung Konferensi Meja Bundar di Den Haag membicarakan penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Indonesia, terjadi suatu momen sejarah yang cukup unik. Dalam susunan delegasi Indonesia yang dipimpin Wakil Presiden RI Mohammad Hatta, terdapat ayah dan anak sekaligus. Yakni Margono sebagai penasehat delegasi dan Sumitro sebagai anggota delegasi yang bertugas untuk perundingan soal keuangan dan ekonomi. Sumitro merupakan lulusan Fakultas Ekonomi di Rotterdam, Belanda.
Singkat cerita, ketika akhirnya Indonesia merdeka dalam kerangka Negara Kesatuan RI pada Agustus 1950, terbentuklah kabinet yang dipimpin Perdana Menteri Mohammad Natsir. Dan Sumitro, menjadi Menteri Perdagangan. Begitu juga dalam Kabinet Wilopo (1952-1953), Sumitro menjadi Menteri Keuangan.
Sayangnya dalam periode itu, nasib Margono, ayahanda Sumitro, ternyata tidak semoncer putranya. Dalam persaingan yang semakin tajam dan tidak sehat antar partai politik ketika itu, terutama antar PNI versus PSI-Masyumi, Margono yang oleh beberapa pentolan PNI dianggap “kader PSI” kemudian digusur dari jabatannya sebagai Presiden Direktur BNI 1946 dan Bank Industri Negara. Padahal kalau melihat riwayat hidup Margono, stigma sebagai orang PSI rasanya terlalu berlebihan.
Tragisnya lagi, ketika Sumitro dianggap terlibat dalam gerakan separatisme di PRRI/Permesta pada 1958 dan lari ke luar negeri, Margono pun kemudian ikut menyingkir ke luar negeri. Pertama ke Singapura(1957-1959), lalu ke Hongkong selama dua tahun, kemudian ke Kuala Lumpur dan baru tahun 1966 kembali ke Indonesia.
Begitupun, sejarah harus adil terhadap reputasi dan kredibiltas Margono. Seperti pandangan Subadio Sastrosatomo, salah satu tokoh sentral Partai Sosialis Indonesia(PSI), Margono sebenarnya layak diberi gelar “Pelopor Koperasi di Indonesia“. Bung Hatta memang sudah tepat dan benar disebut Bapak Koperasi Indonesia. Akan tetapi di zaman kolonial Belanda, Margono yang bekerja dalam lingkungan Agemeen Volkscredietbank, pada hakekatnya telah memelopori bertumbuhnya semangat koperasi,” begitu penuturan Subadio ketika diwawancarai oleh wartawan senior alm Rosihan Anwar.
Syukurlah ketika Prof Sri Edi Swasono menjadi Ketua Dewan Koperasi Indonesia(Dekopin), Margono diberi penghargaan tertinggi Hatta Nugraha. Bukti nyata bahwa Margono memang merupakan Pelopor Koperasi Indonesia.
Hendrajit
Artikel ini ditulis oleh:
Hendrajit