Jakarta, Aktual.co — Markus Haluk, tokoh pemuda Papua yang dikenal vokal menyuarakan ketidakadilan di daerah asalnya, meluncurkan buku berjudul “Menggugat Freeport”.

“Sebelum menulis buku ini, dilakukan riset sekitar enam tahun dan itu riset umum yang tidak dipublikasikan selama 10 tahun,” katanya sambil menunjukkan buku dengan tebal 125 halaman di Jayapura, Sabtu (7/3).

Peluncuran buku dilakukan di Aula STT IS Kijne, Distrik Abepura, Kota Jayapura, pada Sabtu pagi yang dihadiri sejumlah tokoh masyarakat, adat, pemuda, perempuan, dan wakil pemerintah serta akademisi dari berbagai perguruan tinggi di Papua.

“Hasil riset saya lakukan secara organisasi bersama Hans Magal, Mama Yosepha Alamong, dan rekan lainnya yang belum pernah kita publikasikan sebelumnya,” kata Haluk yang juga Sekjen Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua Indonesia (AMPTPI).

Menurut dia, pengambilan topik tentang Freeport itu, lebih karena banyak persoalan yang perlu dikaji dan ditelaah lebih mendalam terhadap perusahaan penghasil emas dan tembaga terbesar di Tanah Air, selain banyaknya permasalahan lain di tanah Papua.

“Tapi, ini kita dahulukan karena situasi pertama itu, secara sewenang-wenang PT Freeport itu terus memperpanjang kontrak karya (KK) dengan cara-cara licik, seperti KK 1967-1991. Biasanya sebelum KK berakhir, ada cara licik (konflik) yang ditempuh, dalam 3-5 tahun terakhir menjelang KK habis massanya,” katanya.

Melalui buku yang diedit Basil Triharyanto dengan desain sampul digarap Rully Susanto itu, Haluk ingin menyampaikan kepada pemilik modal (PT Freeport) dan pembuat regulasi (pemerintah pusat), bahwa cara-cara licik dalam membuat KK tanpa melibatkan masyarakat pemilik hak ulayat adalah hal yang tidak terpuji.

“Saya hanya ingin beritahu kepada Freeport dan Pemerintah Indonesia, stop dengan cara itu. Kedua, pemerintah harus sadar bahwa jaman KK sudah berakhir, itu ada UU Minerba. Harusnya ikuti aturan yang ada dalam UU yang menyatakan kalau tidak ada KK lagi. Jangan tertipu, terbuai dengan permainan Freeport dengan menandatangani KK,” katanya.

Tapi, lanjutnya, Freeport harus ikuti UU.

“Presiden Jokowi serta Gubernur Lukas Enembe harus lakukan itu sesuai UU, jangan membohongi itu. Yang saya harapkan kepada pemerintah kabupaten/kota, provinsi dan pusat adalah, tanah di sana itu ada pemiliknya,” lanjutnya.

Sehingga, perlu memperhatikan keberadaan para pemilik hak ulayat.

“Mereka (Freeport) itu juga baru datang, ada pemilik di situ, masyarakat adat, ada marga-marga, ada yang lain lain. Silahkan bicara karena mereka pemilik di situ, pemilik hak ulayat. Karena itu dalam renegosiasi, harus melibatkan mereka,” katanya.

Di lain pihak, lanjut Haluk, tujuh suku yang ada di Mimika, tempat Freeport beroperasi, harus kompak, bersatu dan solid serta tidak mudah terpecah belah dengan berbagai rayuan yang dapat mendatangkan malapetaka.

“Karena dengan bersatu. Maka kami, kaum muda dapat mengadvokasi berbagai persoalan yang ada. Suara Amugme, suara masyarakat asli di sana tidak boleh pecah, sehingga ketika kita advokasi kejahatan kemanusian oleh Freeport bisa kami lakukan dengan baik,” katanya.

Oleh karena itu, ia mengaku menulis buku ini untuk menyuarakan, perlihatkan kepada publik bahwa banyak ketidakadilan, kejahatan kemanusiaan, yang dilakukan oleh Freeport.

“Dan kiranya buku ini menjadi jendela untuk melihat bangunan didalam Freeport, bangunan bangsa ini, bangunan darah, bangunan tulang belulang yang ada di dalam Freeport, dan dibuat oleh Freeport,” lanjutnya.

Dalam buku itu, Haluk juga mengemukakan bahwa ada masukkan bagaimana meredam atau menyelesaikan konflik yang kerap terjadi di Mimika.

“Harapan saya buku ini, sebagai jendela kecil, semua orang bisa melihat, bagaimana pun Freeport tetap menjadi busur (senjata), karena dia telah membunuh yang terbaik, yang sangat mahal milik kita. Karena itu selama dia melakukan ketidak adilan, cara-cara kejahatan kemanusiaan saat itu juga rakyat Papua berusaha keluar,” katanya.

“Dan berikut cara yang kami tawarkan, konsep yang kami lakukan adalah perundingan negosiasi dengan pemilik tanah (masyarakat pemilik hak ulayat), pemilik modal uang (Freeport), dan pembuat regulasi (pemerintah pusat) untuk duduk bersama mencari solusi permasalahan,” tambahnya.

Buku dengan judul “Menggugat Freeport Suatu Jalan Penyelesaian Konflik” merupakan buku ketiga dari Markus Haluk yang juga seorang aktivis HAM di Papua.

Sebelumnya Haluk pernah terlibat dalam penulisan buku ‘Mati atau Hidup: Hilangnya Harapan Hidup dan HAM di Papua” pada 2013.

Buku berlatar belakang gambar tambang Freeport (Grasberg) dengan tulisan bermotif merah, kuning dan putih itu, di bawahnya bergambarkan salah satu suku di Mimika.

Buku itu terdiri dari 10 bab dengan judul Freeport Dari Titik Nol, Tragedi Kemanusiaaan di Areal Freeport, Dana Satu Persen, Di Bawah Ketiak Kontrak Karya, dan Perlawanan Rakyat Papua terhadap Freeport.

Lalu, bab berikutnya, Hancurnya Peradaban Amungme, Kemelut tapal Batas, Mengungkap January Agreement, Alfa dan Omega di Meja Perundingan, dan Penutup.

Artikel ini ditulis oleh: