Marsekal Madya (Marsdya) Hadi Tjahjanto diambil sumpah dalam pelantikan Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU) di Istana Negara, Jakarta, Rabu (18/1). Presiden Joko Widodo menunjuk Marsdya TNI Hadi Tjahjanto sebagai KSAU menggantikan Marsekal Agus Supriatna yang purna tugas. ANTARA FOTO/Rosa Panggabean/pras/17.

Jakarta, Aktual.com – Pemberhentian secara hormat Panglima TNI Gatot Nurmantyo oleh Presiden Joko Widodo, diharap menjadi tonggak perubahan dalam tubuh angkatan bersenjata Indonesia. Salah satunya pemahaman tentang disiplin pertahanan.

Direktur Eksekutif Amnesty Internasional, Usman Hamid menilai selama ini Gatot cenderung fokus pada masalah politik. Hal ini terlihat dari manuver beberapa pimpinan TNI saat menjabat.

“Sehingga lebih sering menghadiri seminar-seminar partai politik, kampus, sekolah, ketimbang menghadiri pembicaraan tentang membangun strategi pertahanan ke depan dalam kondisi geo politik, atau menganalisis ancaman-ancaman tradisional di China Selatan dan seterusnya, itu yang justru kita harapkan ke depan,” ujarnya saat dihubungi, ditulis Selasa (5/12).

Usman juga berharap Marsekal Hadi Tjahjanto, yang ditunjuk Presiden Jokowi untuk menggantikan Jenderal Gatot, dapat mendukung terselenggaranya pengadilan HAM, ketika menjadi Panglima TNI yang baru. Hal ini pun termasuk juga ketika institusinya diduga menjadi pelanggar HAM.

“Memastikan anggota militer yang terlibat dan terbukti melakukan pelanggaran hukum, pidana umum ataupun pelanggaran HAM diajukan ke pengadilan,” tegasnya.

Selain itu, hal krusial lainnya adalah revisi Undang-undang (UU) Pertahanan untuk melahirkan reformasi di tubuh TNI. Menurut Usman, Marsekal Hadi harus bisa mengarahkan TNI agar lebih mengutamakan kepentingan umum ketimbang gengsi institusi.

“Karena pihak militer keberatan adanya pemeriksaan oleh pihak kepolisian atau sipil. Espirit de Corps itu harus dihilangkan ketika berurusan dengan pelanggaran HAM terlibat dan terbukti melakukan pidana umum. Espirit de Corps harus dikuatkan jika ada ancaman-ancaman dari luar dan pertahanan,” jelasnya.

Sehingga tidak terjadi lagi ada penugasan TNI untuk konflik sipil. Seperti yang terjadi di Kulonprogo ataupun Papua tempo hari lalu.

“Bukan ancaman dari warga yg mempertahankan tanah di Rumpin, Kulonprogo, kebumen, atau berbagai lain. TNI tidak boleh berurusan dengan kehidupan sosial politik kecuali ada UU yang menugaskan secara jelas,” pungkasnya.

 

Teuku Wildan

Artikel ini ditulis oleh:

Teuku Wildan