Jakarta, aktual.com – Krisis kepercayaan terhadap penegakan hukum di Batam kembali menguat. Di tengah maraknya razia rokok tanpa cukai merek HD, publik menyoroti satu pola lama yang seolah tak berubah: penindakan berhenti di lapis bawah, sementara nama-nama yang kerap disebut warga sebagai “pengendali” justru tidak pernah tersentuh hukum.
Salah satu nama yang kembali mengemuka adalah Akim alias Asri, figur yang dalam diskusi publik sering dikaitkan dengan derasnya arus rokok ilegal di Batam. Meski tidak ada putusan pengadilan yang menyatakan dirinya bersalah, konsistensi sorotan publik tak mereda, terutama ketika distribusi barang ilegal dinilai tetap berjalan masif.
Tokoh adat Melayu Datok Noorin Hood mengatakan, dirinya kuatir dengan kondisi Batam saat ini yang kian hari mafia tanah makin merajalela dan tidak ada upaya penegakkan hukum
“Kami sangat menyesalkan kondisi Batam saat ini. Penegakkan hukum tumpul ke atas tapi tajam ke bawah. Ini jangan dibiarkan,” kata Noordin dalam konten tiktok Ferry Irawan, baru-baru ini.
Contoh nyata, kata Noordin adalah kasus perobohan Hotel Purajaya. Hotel saksi bisu sejarah pendirian Kepri ini telah diratakan dengan tanah oleh pengusaha PT Fasisfic Grup, tanpa putusan pengadilan dan tanpa pemberitahuan.
“Ini jelas bentuk ketidakadilan. Sehat ya aparat bisa terus mengungkap tuntas kasus ini sehingga pemilik lama Hotel Purajaya bisa mendapat keadilan,” ujarnya.
“Suara masyarakat Melayu menggema lebih keras: Marwah terkikis ketika hukum tak lagi menegakkan keadilan,” tandasnya.
Purajaya: Ketika Simbol Melayu Hilang Tanpa Jejak
Pada dekade 1990-an, Purajaya Hotel bukan sekadar bangunan; ia adalah penanda eksistensi Melayu di kota yang terus tumbuh secara ekonomi. Ornamen lokal, ruang musyawarah adat, dan identitas arsitektur menjadikannya ruang simbolik bagi masyarakat Melayu Kepri.
Ketika bangunan itu diambil alih perusahaan yang dipimpin Akim, sebagai bagian dari PT Pasific Grup dan kemudian diboikot secara total, gelombang kekecewaan publik tak terhindarkan.
Budayawan menyebut peristiwa itu sebagai, penghapusan memori Melayu dari jantung Batam.
Kini, yang tersisa hanya dokumentasi foto dan cerita warga. Namun luka sosial itu tidak hilang. Ia justru menjadi konteks penting ketika nama Akim kembali dikaitkan dengan berbagai dinamika bisnis di Batam.
Rokok HD Mengalir Deras, Pengawasan Disebut Mandek
Di kios-kios kota, pasar pinggiran, hingga pulau-pulau hinterland, rokok HD tanpa cukai disebut warga beredar secara terbuka. Razia memang dilakukan, tetapi hasilnya dinilai stagnan: kurir ditahan, sopir diperiksa, gudang kecil disegel.
Namun jaringan besar yang disebut warga dalam percakapan publik tak pernah tersentuh. Di sejumlah pertemuan masyarakat, kritik mengalir deras:
“Penegakan hukum hanya mengurusi simpul kecil, tapi alur besar tetap hidup. Para pelaku utamanya belum tersentuh. Harusnya aparat tidak pandang bulu siapapun yang terlibat .adalah di Batam harus diproses hukum,” papar Noordin Hood.
Aparat menyampaikan bahwa penindakan dilakukan sesuai prosedur. Namun publik melihat jurang lebar antara pernyataan formal dan kenyataan distribusi di lapangan.
Setiap momentum operasi, perbincangan warga kembali tertuju pada nama yang sama: Akim. Tidak ada status hukum terhadap dirinya terkait rokok ilegal. Namun absennya penyelidikan tingkat atas dianggap publik sebagai ketimpangan yang dibiarkan terbuka.
“Ketika figur yang terus disebut warga tidak disentuh, narasi ketidakadilan tumbuh lebih cepat daripada klarifikasi resmi.”
Pilar Marwah Melayu dalam Ancaman
Tokoh adat Melayu Datok Noordin Hood menilai bahwa Batam sedang memasuki fase krisis kultural. Hilangnya simbol-simbol budaya (seperti Purajaya), ditambah maraknya peredaran barang ilegal, dinilai sebagai ancaman langsung terhadap tiga pilar marwah Melayu: bahasa, adat, dan kehormatan.
“Yang runtuh bukan hanya bangunan, tapi wibawa. Ketika wibawa hilang, Melayu tak lagi menjadi tuan di tanahnya.” ujar Datok.
Artikel ini ditulis oleh:
Rizky Zulkarnain

















