KPK tahan Gubernur Maluku Utara Abdul Ghani Kasuba (duduk) dan para tersangka lainnya dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Rabu (20/12/2023). ANTARA/Fianda Sjofjan Rassat

Jakarta, Aktual.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memutuskan untuk memperpanjang masa penahanan Gubernur Maluku Utara nonaktif Abdul Ghani Kasuba (AGK) selama 40 hari guna keperluan penyidikan dan melengkapi alat bukti.

“Lama penahanan tersebut sampai dengan 16 Februari 2024 di Rutan KPK dan dapat diperpanjang kembali sesuai kebutuhan penyidikan,” kata Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri saat dikonfirmasi di Jakarta, Selasa (9/1).

Ali menjelaskan bahwa perpanjangan penahanan juga berlaku untuk rekan tersangka yang ditahan bersama AGK, yaitu Kadis Perumahan dan Pemukiman Pemprov Maluku Utara Adnan Hasanudin (AH), Kadis PUPR Pemprov Maluku Daud Ismail (DI), Kepala BPPBJ Pemprov Maluku Utara Ridwan Arsan (RA), ajudan gubernur Ramadhan Ibrahim (RI), serta pihak swasta Stevi Thomas (ST) dan Kristian Wuisan (KW).

Kronologi kasus melibatkan Abdul Ghani Kasuba dan rekan-rekannya bermula ketika Pemprov Maluku Utara melakukan pengadaan barang dan jasa dengan anggaran dari APBD.

AGK, dalam kapasitasnya sebagai Gubernur Maluku Utara, turut serta dalam menentukan pemenang lelang proyek pekerjaan.

Dalam menjalankan tugasnya, AGK memerintahkan AH, DI, dan RA untuk melaporkan proyek-proyek di Provinsi Maluku Utara. Nilai proyek infrastruktur jalan dan jembatan mencapai lebih dari Rp500 miliar, termasuk pembangunan ruas Matuting-Rangaranga dan Saketa-Dehepodo.

AGK menentukan besaran kontribusi dari para kontraktor untuk proyek-proyek tersebut. Selain itu, AGK setuju agar AH, DI, dan RA memanipulasi progres pekerjaan agar anggaran segera dicairkan, dengan klaim proyek telah selesai di atas 50 persen.

Beberapa kontraktor, seperti KW dan ST, menyatakan kesanggupan memberikan uang kepada AGK melalui RI untuk pengurusan perizinan pembangunan jalan oleh perusahaannya. Uang diserahkan tunai atau melalui rekening penampung atas nama pihak lain atau pihak swasta, dengan inisiatif penggunaan rekening penampung merupakan hasil ide AGK dan RI.

Buku rekening dan kartu ATM tetap dipegang oleh RI sebagai kepercayaan AGK. Sebagai bukti awal, sejumlah sekitar Rp2,2 miliar masuk ke rekening penampung.

Uang tersebut kemudian digunakan untuk kepentingan pribadi AGK, termasuk pembayaran menginap hotel dan dokter gigi.

ST, AH, DI, dan KW sebagai pemberi disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b, atau Pasal 13 Undang-Undang (UU) Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Sementara itu, AGK, RI, dan RA sebagai penerima disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau b, atau Pasal 11 Undang-Undang (UU) Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Artikel ini ditulis oleh:

Sandi Setyawan