Jakarta, Aktual.com — Peristiwa Mina (24/9) masih segar dalam ingatan, namun sebaiknya dicatat dari seluruh rangkaian peristiwa tersebut termasuk serinci apa pun dari pernyataan saksi mata sebagai kelengkapan bahan masukan pembenahan penyelenggaraan ibadah Haji.
Otoritas penyelenggaraan ibadah haji ada di tangan Kerajaan Arab Saudi, Raja Salman bin Abdul Azis, yang juga Khadim al-Haramain asy-Syarifain, sebagai penjaga dua kota suci: Mekah dan Madinah. Kendati demikian negara lain memiliki hak memberikan masukan bagi perbaikan penyelenggaraan ibadah Haji ke depan.
Terkait peristiwa Mina itu, Menteri Dalam Negeri Arab Saudi, Pangeran Muhammad bin Naif menggelar rapat darurat. Hasilnya, Pemerintah Arab Saudi memutuskan membentuk tim investigasi untuk menyelidiki musibah tersebut.
Penyebab peristiwa Mina, seperti diungkap dalam laman Tempo adalah kehadiran rombongan konvoi anak Raja Saudi Salman bin Abdulaziz Al Saud di pusat Mina. Peristiwa itu kemudian dikenal sebagai tragedi Mina. Ratusan peziarah wafat. Harian Lebanon, al-Diyar melaporkan, Pangeran Mohammad bin Salman Al Saud memainkan peran sentral dalam peristiwa mematikan pada hari ketiga dari ibadah Haji ini pada Kamis (24/9) lalu.
Sang Pangeran Salman berusaha menghadiri pertemuan besar peziarah di Mina, yang berlokasi sekitar lima kilometer (tiga mil) dari Mekah. Dia tiba di lokasi, pagi hari disertai dengan rombongan besar.
“Laporan itu mengatakan pasukan tentara 200 dan 150 petugas polisi mengawal sang pangeran,” demikian dikutip dari laman www.presstv.ir, Jumat (25/9). Kehadiran pangeran di tengah penduduk membuat perubahan arah pergerakan anggota jamaah dari berbagai negara saling berdesakan.
Harian berbahasa Arab itu menuturkan Salman dan rombongan cepat meninggalkan tempat kejadian. Kerajaan Saudi juga disebut berupaya menutup-nutupi seluruh cerita dan menepis kehadiran Salman di daerah tersebut. Para pejabat di Arab Saudi membantah dan menyebut laporan tersebut tidak benar.
Menteri Kesehatan Arab Saudi Khaled al-Falih malah menyalahkan para peziarah sebagai penyebab tragedi itu.
“Jika para peziarah mengikuti petunjuk, kecelakaan bisa dihindari,” kata dia.
Menurut Organisasi Haji dan Ziarah Iran lebih dari 1.300 orang tewas dalam insiden ini. Sebanyak 125 orang di antaranya adalah warga Iran. Jumlah ini berbeda dengan klaim pejabat Saudi yang menyebutkan korban tewas sebanyak 717 orang dan jumlah cedera di 863 orang.
Sementara itu, jumlah anggota jemaah Haji asal Indonesia yang wafat pada musibah di Mina, Arab Saudi, Kamis (24/9) lalu, bertambah setelah dilakukan identifikasi. Jumlahnya bertambah 22 orang sehingga jumlah total, dari sebelumnya berjumlah 19 jenazah, hingga Senin (28/9) mencapai 41 orang wafat.
Atas peristiwa tersebut, Pemimpin Revolusi Islam Ayatollah Seyyed Ali Khamenei menyerukan tiga hari berkabung nasional. Khamenei mendesak pemerintah Saudi untuk bertanggung jawab serta berlaku adil dan benar.
Wakil Menteri Luar Negeri Iran untuk Arab dan Afrika Hossein Amir-Abdollahian mengatakan Arab Saudi harus bertanggung jawab atas kematian para peziarah. Kejadian fatal setelah pasukan keamanan Saudi memblokir dua jalan sementara peziarah berjalan menuju ritual akhir Haji.
Terima masukan Terkait peristiwa Mina, Ketua DPR Setya Novanto, yang ikut menunaikan ibadah haji pada musim haji 1436 H/ 2015 M itu, mengungkapkan bahwa pihaknya telah memberi masukan agar Arab Saudi melibatkan Organisasi Kerja Sama Islam (dahulu Organisasi Konferensi Islam) dalam tim investigasi atas peristiwa naas itu. OKI terdiri atas negara-negara yang berpenduduk mayoritas Muslim, karena itu penting dilibatkan.
Juga dari negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Ekonomi Dunia, ‘The Group of Twenty (G-20) Finance Ministers and Central Bank Governors’ atau Kelompok Dua puluh Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral dapat pula disertakan.
Raja Salman pun berjanji akan menindaklanjuti masukan sebagaimana disampaikan Ketua DPR Setya Novanto.
Kegiatan ritual ibadah Haji seharusnya sejak lama tidak bisa lagi dipandang sebagai tugas rutinitas tahunan. Sebab, kegiatan ibadah ini sangat dinamis, melibatkan jutaan umat Muslim dari berbagai negara dengan pernak-pernik budaya, sosial politik, hukum dan bisnis ada di dalamnya sehingga membutuhkan perhatian dari seluruh pemangku kepentingan.
Dalam beberapa tahun terakhir, penyelenggaraan ibadah haji sudah memasuki wilayah industri yang ditandai makin gencarnya iklan berhaji dengan janji memberi rasa nyaman dan aman kendati ongkosnya bisa mencapai lebih dari tiga kali lipat dari haji regular. Belum lagi pergi haji dengan dana talangan dengan dukungan perbankan yang ikut memperpanjang antrian daftar tunggu Jemaah Haji.
Penyelenggaraan Haji (dan Umrah) di Indonesia diatur dalam Undang-Undang No.13 Tahun 2008. Hal ini berbeda dengan negara lain yang menyebabkan Indonesia dinilai sebagai negara terbaik penyelenggara Haji.
Dalam ketentuan umum pada UU tersebut ditegaskan bahwa ibadah Haji adalah Rukun Islam kelima, wajib dilaksanakan sekali seumur hidup bagi setiap orang Islam yang mampu menunaikannya.
Penyelenggaraan Ibadah Haji ditegaskan pula sebagai rangkaian kegiatan pengelolaan pelaksanaan Ibadah Haji yang meliputi pembinaan, pelayanan, dan perlindungan Jemaah Haji. Sayangnya, pengaturan pencegahan pergi haji berkali-kali dan perlindungan anggota jemaah haji pada realitasnya belum dioptimalkan.
Infrastruktur Jika dilihat dari sisi infrastruktur, otoritas kerajaan Arab Saudi tak henti-hentinya melakukan perbaikan. Yang nyata sekali adalah proyek perluasan kompleks Masjidil Haram, pemondokan, transportasi hingga pelayanan katering pun diatur dengan dukungan E-hajj.
Ke depan dengan penggunaan TI tersebut, penyerapan kuota haji, pelayanan kepada seluruh anggota Jemaah haji selama di Tanah Suci diharapkan mudah dikontrol.
Megaproyek masjidil Haram yang dimulai lima tahun lalu dimaksudkan untuk memberi kenyamanan bagi anggota Jemaah dari seluruh dunia selama beribadah di tempat suci tersebut. Namun ketika proyek tersebut berjalan, berdampak pada pengurangan kuota haji dari seluruh negara.
Indonesia pernah mendapat kuota haji 211 ribu, lantas dipotong 20 persen (168 ribu). Pada 2016 ditambah 20 ribu orang sebagaimana disampaikan Raja Saudi ketika menerima kunjungan kerja Presiden Joko Widodo, baru-baru ini.
Disamping itu, proyek tersebut juga “memakan korban” yang hingga saat ini, tercatat tujuh jamaah haji Indonesia yang telah meninggal dunia dan 42 luka-luka. Peristiwa ini terjadi lantaran robohnya salah satu crane di Masjidil Haram akibat diterjang badai saat anggota Jemaah haji dari berbagai negara melaksanakan tawaf.
Penambahan kuota memang pantut dipuji. Sebab, satu sisi dapat mempercepat waktu pemberangkatan calon Jemaah haji yang kini antriannya sudah di atas 20 tahun, juga mengurangi pemberangkatan anggota Jemaah haji berisiko tinggi (risti) dan usia lanjut (lansia). Namun semua itu tak akan bermakna jika tidak memberikan rasa nyaman dan aman tatkala anggota Jemaah haji melaksanakan seluruh rangkaian ritual ibadah haji.
Penting direalisasikan adalah bagaimana Kementerian Agama dapat membendung “syahwat” atau niat besar seseorang menunaikan ibadah Haji berulang kali. Sebagian ulama sepakat, seseorang berulang kali menunaikan ibadah Haji dapat dimaknai sebagai perbuatan zolim karena telah mengambil hak kuota sesama Muslim.
Untuk ini perlu fatwa yang mengikat, bersifat nasional dan internasional bahwa menunaikan ibadah haji lebih dari sekali hukumnya haram. Pendapat ini pernah juga dikemukakan Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA, Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta.
Jika kesadaran seseorang berulang kali pergi haji dapat dicegah, antrian panjang pada daftar tunggu haji dapat dikurangi. Dengan begitu, kesempatan bagi umat Muslim lainnya menunaikan ibadah haji makin cepat.
Konsep istitoah dalam berhaji, yaitu, cukup dana bagi yang akan berangkat haji, cukup uang bagi keluarga yang ditinggalkan, sehat dan tak ada halangan, sayogianya juga harus dievaluasi. Ilmu manasik Haji juga harus menjadi bagian dari istitoah. Di dalam ilmu manasik haji, secara tidak langsung anggota Jemaah perlu memahami kondisi lapangan dan hadist-hadist yang berkaitan dengan ritual haji.
Ada kesamaan sikap di antara anggota Jemaah dalam melaksanakan ritual haji perlu dibangun. Misalnya, masih ada anggota Jemaah bertolak sebelum pelaksanaan wukuf di Padang Arafah pada 9 Dzulhijjah. Artinya Jemaah tersebut bergerak lebih awal masuk Arafah, berbeda dengan rombongan besar. Perjalanan ibadah ini dikenal pergi ke Mina dahulu di hari Tarwiyah sebelum masuk Arafah pada 8 Dzulhijjah.
Beribadah dengan cara seperti itu pun perlu diatur dengan tegas. Dengan cara itu, anggota Jemaah haji dapat didisiplinkan sehingga dapat menghindari risiko kecelakaan selama berada di Arafah- Muzdalifah-Mina (Armina).
Dari tahun ke tahun luas lahan Mina tak berubah. Sementara jumlah anggota jemaah haji dari berbagai negara terus bertambah. Jika keadaan tersebut terus saja berlangsung, maka rasa nyaman dalam beribadah jauh dari harapan.
Fatwa ulama setempat yang menyebut bahwa Mina sudah diperluas, – dikenal sebagai Mina Jadid, – dan sah sebagai tempat bermalam beberapa hari untuk mempersiapkan segala sesuatu dalam pelaksanaan melontar Jumrah, tetapi tetap saja di antara anggota Jemaah haji mengambil mabid di Mina, bukan Mina Jadid.
Sangat elok jika Menteri Agama Lukman Hakim Saefuddin, bersama anggota OKI, mengajak pemerintah Saudi untuk duduk bersama mengevaluasi penyelenggaraan ibadah Haji.
Pengaturan kuota haji yang sudah 34 tahun sudah tidak relevan lagi dengan kondisi sekarang ini. Kuota Haji ditetapkan berdasarkan keputusan OKI, yaitu satu per mil dari jumlah penduduk umat Islam dari tiap negara bersangkutan. Jika jumlah penduduk Indonesia sebanyak 250 juta maka seharusnya Indonesia memperoleh kuota sebesar 250 ribu.
Sebagai pengirim jemaah Haji terbesar setiap tahun, Indonesia berhak mengusulkan kepada otoritas kementerian haji Saudi agar infrastruktur di Mina ditingkatkan, misalnya membangun tenda bertingkat dan permanen. Pengaturan jumrah perlu diperketat bagi anggota Jemaah haji. Jika dipandang perlu para Ulama mengeluarkan fatwa tentang afdol tidaknya melontar di luar Pukul 12.00 siang waktu setempat.
Perbaikan penyelenggaraan ibadah haji harus dilakukan secara komprehensif. Artinya, tidak melulu difokuskan pada penyelenggaraan di Tanah Suci. Seluruh rangkaian persiapan di Tanah Air pun tidak lepas dari bagian yang harus dibenahi.
Penerapan E- Hajj yang diberlakukan Pemerintah Saudi, yang menyebabkan anggota Jemaah haji tertunda di beberapa embarkasi Haji pada musim Haji tahun ini, merupakan salah satu contoh lemahnya koordinasi antara Kedutaan Arab Saudi dan Kementerian Agama.
Ke depan, memang sudah saatnya manajemen Haji direformasi. Bukankah semua umat Islam berkeinginan bahwa beribadah itu tak hanya nyaman dan aman tetapi juga khusyu’ bagi anggota Jemaah haji selama melaksanakan seluruh rangkaian ritual ibadah Haji. Tentu pula kepada keluarga yang ditinggal di Tanah Air tidak lagi was-was akan keselamatan keluarganya selama berada di Tanah Suci.
Artikel ini ditulis oleh: