Masalah yang paling krusial yang dihadapi oleh eksportir komoditi dari kelompok UKM adalah masalah perbankan. Pemerintah telah memberi kebijakan ekonomi jilid I, II, III, dan IV. Tetapi praktiknya di lapangan, pihak perbankan itu masih sangat kaku. Terutama untuk kelompok UKM yang mau melakukan ekspor kopi.
Hal itu dinyatakan pimpinan PT. Kamakmuran Niaga Mandiri, Didiet Arry Suparno, yang perusahaannya menghasilkan kopi spesial, kepada wartawan Aktual.com, Satrio Arismunandar di Baghdad, Rabu (4/10). Pengusaha UKM asal Bandung ini membawa contoh produk kopinya, dengan brand Paris van Jawa, untuk dipasarkan lewat pameran perdagangan Baghdad International Fair di Irak.
Didiet memberi contoh, pihaknya harus membeli kopi dengan uang kontan, dalam upaya perusahaan untuk melaksanakan ekspor 200 ton kopi tahun depan ke Budapest, Hongaria, sesuai permintaan pasar. “Tetapi berapa besar sih kemampuan uang saya untuk memperoleh biji kopi sebanyak itu? Pemerintah saat ini telah memberi kebijakan kredit dengan jaminan yang berbasiskan komodoti. Namun praktiknya di lapangan, perbankan itu seperti bersikap setengah-setengah,” ujar Didiet.
Menurut Didit, ketika mengambil kredit ke bank, pihaknya tetap harus menyediakan collateral atau jaminan lain, padahal ia membeli biji kopi untuk ekspor itu dengan uang. “Uang kita itu sudah habis untuk membeli kopi. Tetapi kita tetap harus memberikan collateral berupa aset tetap, seperti tanah, dan sebagainya,” sambungnya.
Padahal, kata Didiet, asetnya sendiri sudah dikeluarkan untuk membeli kopi. “Seharusnya pemerintah bisa memberi lebih banyak peluang pada kami para eksportir, terutama pelaku komoditi. Agar komoditi kami, stok kami itu, bisa dijadikan jaminan collateral,” ujarnya.
Ketika ditanya bagaimana caranya mengatasi masalah ini, Didiet menjawab, “Ya sekarang kami mengandalkan trust dari jaringan yang sudah kami punya. Atau, sistemnya kita mengirim secara bertahap sebagian-sebagian. Misalnya, kita dapat order 10 kontainer, ya kita masukin dulu satu atau dua kontainer, dan menunggu duitnya cair,” jelas Didiet.
“Tapi terkadang pihak pembeli juga bertanya, kok cara pengirimannya rumit banget sih. Namun kami kan tidak mungkin menceritakan kondisi kita pada buyer. Walaupun sebenarnya kita sudah mendapat jaminan LC (Letter of Credit) dan down payment 30 persen,” katanya.
Yang lucunya lagi, menurut Didiet, LC yang dimilikinya itu jika dimasukkan ke perbankan di Indonesia juga tidak bisa dijadikan jaminan. Bagi pihak perbankan, LC itu bukan collateral. Jadi pihak Didiet tetap saja harus menjaminkan aset tetap, seperti tanah, rumah, dan segala macam.
“Saya tetap harus kasih fixed asset. Saya sudah datang ke empat bank termasuk BRI, BJB, Mandiri, dan jawabannya itu sama,” tuturnya. “Kebijakan dari Bank Indonesia-nya yang belum berubah. Jadi bank-bank itu bukannya tak mau, tetapi yang harus berubah itu peraturan BI-nya.”
Artikel ini ditulis oleh: