Tangsel, Aktual.com – Ketua Forum Korban Mafia Tanah Indonesia (FKMTI), Supardi Kendi Budiarjo menilai, dengan melihat masifnya kasus perampasan tanah yang terjadi di Indonesia sudah selayaknya pemerintah segera membentuk lembaga ad hoc yang khusus untuk menangani persoalan agraria.

“Ini kan (persoalan sengketa/perampasan tanah) sudah masif. Selama ini pengadilan negeri itu kalau korbannya datang itu kan cost nya tinggi, ya pasti yang menang yang yang punya capital,” terang Supardi dalam agenda konsolidasi tindak lanjut aksi korban perampasan tanah oleh pengembang yang di gelar di RM Bale 23, Jalan Jombang Astek, Lengkong Gudang Timur, Pondok Aren, Tangerang Selatan, Jum’at, 8/3/2019.

“Itu sebabnya FKMTI tujuannya cuma satu (meminta pemerintah segera membentuk lembaga) ad hoc. Bikin seperti KPK, ada pengadilan agraria. Supaya korban ini tidak di bawa mutar terus,” tegasnya.

Menurutnya, lembaga ad hoc yang khusus menangani persoalan agraria diyakini dapat lebih independen dan jauh dari intervensi.

“Seperti KPK, di situ ada beberapa penyidiknya dari beberapa lembaga sehingga dia independen. Tapi kalau hanya dua pidananya (seperti saat sekarang ini), di kepolisian dan tanahnya itu ada di BPN ( Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional), sejauh ini yang kita selama ini ya tidak jalan, tidak berpihak,” ungkap Supardi.

Dilokasi yang sama, Sekretaris Jenderal FKMTI, Agus Muldya Natakusumah juga menyepakati usulan tersebut.

“Kenapa ad hoc (harus) di bangun, sekarang itu begitu menang di pengadilan sampai ke MA dan PK itu puluhan tahun. Begitu warga menang dia ngga bisa eksekusi juga karena ngga punya uang,” ujarnya.

Selain itu, semangat untuk mendorong pemerintah bentuk peradilan khusus agraria juga di dasari oleh sikap BPN yang memiliki kecendurungan mengarahkan korban perampasan tanah untuk diselesaikan di pengadilan meski melihat adanya fakta telah terjadi mal administrasi.

“Ngga pernah jual tapi keluar SKGB, harusnya kan BPN bisa (mengambil sikap terhadap tindakan) mal administrasi membatalkan SKGB, tapi selalu rata-rata dia bilang ya sudah ke pengadilan, padahal kewenangannya ada di BPN. Nah, kalau di ad hoc ini tuntas,” pungkasnya.

Seperti diketahui, sejumlah warga mengaku telah menjadi korban perampasan tanah oleh pengembang. Hak atas tanahnya yang dirampas oleh pengembang, diketahui kini sudah dibangun komplek perumahan, terutama yang berada di Kawasan BSD City.

Bermacam cara sudah ditempuh oleh sejumlah korban untuk memperjuangkan hak atas tanahnya, namun hal tersebut tidak kunjung membuahkan hasil. Terakhir, warga yang menjadi korban perampasan lahan, bersama Ormas Badan Pembinaan Potensi Keluarga Besar (BPPKB) Banten dan Ormas Forum Korban Mafia Tanah Indonesia (FKMTI) melakukan aksi unjuk rasa di depan Kantor BPN Kota Tangerang Selatan, Senin (4/3) lalu untuk mendesak pemerintah segera berinisiatif turun tangan untuk menyelesaikan kasus perampasan tanah yang terjadi.

Berikut ini adalah daftar sejumlah korban yang mengaku dirampas tanahnya oleh Pengembang Sinar Mas Land di Kawasan BSD City yang berhasil dihimpun oleh Aktual:

1. Nasib bin Djimbling – luas tanah 4,000 M2
2. Ani Wapan – Luas tanah 9,990 M2
3. Gupang Djuni – Luas tanah 9,600 M2
4. Ali Lugina – Luas tanah 2,500 M2 SHM 1974
5. Rusli Wahyudi – Luas tanah 25,000 M2
6. Sahid bin Miin Ali – 1,856 M2

Berikut ini adalah korban yang mengaku dirampas tanahnya oleh Pengembang Pembangunan Jaya Bintaro :

1. Sri Cahyani – Luas tanah 2,000 M2
2. Hasanah – Luas tanah 2,700 M2
Sampai berita ini dimuat belum ada tanggapan dari pihak BSD maupun Jaya Bintaro

Berikut cuplikannya:
Laporan: Warnoto