Jakarta, Aktual.com – Indeks literasi di Indonesia perlu untuk lebih ditingkatkan karena masih warga negara di negeri ini buta aksara pada era globalisasi seperti sekarang ini.

“Urusan literasi ini tersebar di beberapa instansi namun koordinasinya rendah,” kata Wakil Ketua Komisi X DPR Abdul Fikri Faqih dalam rilis yang diterima di Jakarta, Sabtu (9/9).

Politisi PKS itu mengingatkan bahwa berdasarkan data Kemendikbud pada tahun 2016, Indonesia telah mencapai sebanyak 97,93 persen angka bebas buta aksara.

Dengan demikian, lanjutnya, masih ada sekitar 2,07 persen atau 3,4 juta warga Indonesia yang dinilai masih belum mengenal huruf dan bisa membaca.

Dia berpendapat, koordinasi masih terlihat belum memadai antara program pemberantasan buta aksara yang ada di Kemendikbud, dengan lembaga Perpusnas yang terus memantau tingkat literasi di Tanah Air.

Apalagi, ia mengingatkan bahwa anggaran yang dialokasikan kepada Perpusnas hanya sekitar Rp500 miliar per tahun, padahal lembaga serupa di Singapura mendapat alokasi anggaran hingga sekitar Rp1,7 triliun per tahun, dan di Malaysia sampai Rp66,8 triliun.

“Padahal jumlah penduduk mereka (Singapura dan Malaysia) sangat jauh lebih sedikit dibanding kita, Indonesia,” ucapnya.

Abdul Fikri Faqih juga menyatakan, faktor lain yang jadi pemicu rendahnya literasi Indonesia adalah rendahnya koordinasi vertikal antara pemerintah pusat dan daerah, di mana seharusnya pemda saling melengkapi, serta tidak selalu bergantung dengan pihak pemerintah pusat.

Ia mengingatkan bahwa fungsi pendidikan adalah salah satu yang didesentralisasikan sesuai otonomi daerah.

Sebagaimana diwartakan, sebagian guru di Indonesia dinilai belum melek teknologi sehingga diharapkan literasi teknologinya ditingkatkan untuk mengajar anak didik yang sangat dekat dengan teknologi.

“Di Indonesia sebagian guru tingkat literasi teknologinya masih rendah, penguasaan teknologi itu memang perlu ditingkatkan,” ujar Manajer Kerja Sama Pemerintah perusahaan penyedia layanan dan konten pendidikan berbasis teknologi Ruang Guru, Ghazzian Afif di Jakarta, Senin (28/8).

Menurut Ghazzian Afif, tidak ada perbedaan yang signifikan antara guru yang ada di daerah dan yang ada di kota, sehingga yang membedakan hanya guru di kota lebih familiar dengan barang-barang berteknologi.

Sebagaimana diketahui, tanggal 8 September setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Aksara Internasional. Hal itu telah berlaku sejak ditetapkan di Teheran (Iran) pada tahun 1965.

ANT

Artikel ini ditulis oleh:

Antara
Arbie Marwan