Jakarta, Aktual.com – Anggota Komisi VII DPR, Kurtubi menyebut, sosok Menteri ESDM saat ini, Archandra Tahar yang selama ini tinggal lama di Amerika Serikat dianggap masih buta sektor energi dalam negeri.
Untuk itu, kata dia, ada beberapa prioritas sektor energi yang harus dikedepankan dalam masa awal jabatannya itu.
“Dia itu orang yang lama tinggal di AS. Sehingga bisa jadi masih buta perkembangan energi nasional. Untuk itu bagi saya ada beberapa hal yang sangat mendesak untuk diselesaikannya,” ujar Kurtubi dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Rabu (10/8).
Langkah mendesak yang pertama, kata dia, segera memperbaiki tata kelola sektor minyak dan gas (migas) serta mineral dan batu bara (minerba) juga harus memperbaiki Kebijakan Energi Nasional (KEN) dengan cara cepat. Cara cepat itu minta Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mengeluarkan Perpu.
“Perpu ini perlu di sektor migas. Yaitu untuk mencabut UU migas no. 22/2001, sekaligus membubarkan SKK Migas yang digabung ke Pertamina. Jadi nantinya, semua kontraktor migas berkontrak deng Pertamina. Ini harus lewat Perpu,” tandas dia yang dari dulu menginginkan SKK Migas dibubarkan.
Dalam sektor minerba, kata dia, harus menghapus sistem Kontrak Karya dan sistem Ijin Usaha Penambangan (IUP) diganti ganti dengan sistem kontrak bagi hasil. Dan semua kontraktor minerba berkontrak dengan BUMN yang mengelola sektor minerba.
“Serta harus dinyatakan bahwa asset minerba yang ada di perut bumi adalah milik negara yang pengelolaannya diserahkan ke BUMN minerba itu,” papar dia.
Selanjutnya, lanjutnya, Archandra harus mau mrevisi KEN dengan menghapus ketentuan yang menyebutkan bahwa Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) sebagai opsi terakhir. Segera merubah rencana usaha penyediaan tenaga lustrik (RUPTL) PLN itu dengan membuka pembangunan PLTN.
“Tapi sepanjang batu bara, air, angin, dan matahari masih ada, listrik dari nuklir di Indonesia tidak akan pernah dibangun. Sammpai hari ini nuklir masih jadi opsi terakhir. Itu harus diubah,” sarannya. (Busthomi)
Artikel ini ditulis oleh:
Eka