Pelemahan rupiah ini seiring dengan hasil Unggulnya Donald Trump dari Partai Republik dalam pemilihan presiden Amerika Serikat (AS) 8 November 2017 direspon negatif oleh para pelaku pasar. Mata uang Asia sebagian besar langsung melemah begitu Donald Trump memimpin perolehan suara dibandingkan calon presiden dari Partai Demokrat Hillary Clinton. AKTUAL/Tino Oktaviano

Jakarta, Aktual.com – Laju nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD) pada perdagangan sesi I Jumat (16/12) ini berada di zona merah. Pelemahan rupiah ini masih terdampak kenaikan suku bunga bank sentral AS, The Fed Fund Rate (FFR).

Pada penutupan sesi I, hingga pukul 11.20 WIB, terlihat nilai tukar rupiah melemah sebanyak 0,25% atau 34 poin ke Rp13.418 per dolar AS. Kondisi itu juga diikuti oleh pelemahan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).

Sebelumnya, pada perdagangan pembukaan pagi, pada pukul 08.50 WIB rupiah melemah 29 poin atau 0,22% ke level Rp13.413. Dan pada pukul 08.00 WIB di pasar spot, rupiah dibuka lebih dalam di angka Rp13.420 atau melemah 36 persen dari penutupan perdagangan kemarin. Dan pada perdagangan Kamis kemarin, rupiah sendiri ditutup memerah 90 poin atau 0,68% ke Rp13.384 per USD.

Menurut analis senior dari Binaartha Securities, Reza Priyambada, pergerakan rupiah pasca pengumuman The Fed tampaknya tidak sesuai dengan ekspektasi pasar, karena terus cenderung melemah.

“Jadi, keputusan The Fed menaikkan suku bunga sebesar 25 basis poin menjadi 0,75% telah menekan sejumlah mata uang Asia, termasuk rupiah,” ungkap Reza di Jakarta, Jumat (16/12).

Sepertinya, kondisi pelemahan rupiah bisa berlangsung lama. Apalagi, otoritas moneter AS itu sudah memperkirakan laju kenaikan suku bunga tahun depan akan lebih cepat dari harapan sebelumnya menjadi tiga kali.

“Hal ini tak lepas dari kebijakan ekonomi Presiden terpilih AS Donald Trump yang berencana memberikan stimulus fiskal dalam jumlah besar,” jelasnya.

Semestinya, kata dia, kenaikan FFR ini sudah diantisipasi oleh pasar. Namun demikian, ternyata faktanya pasar fokus pada sinyal The Fed terkait kenaikan suku bunga tahun depan yang akan dilakukan sebanyak tiga kali itu.

Pelemahan rupiah ini, kata dia, juga dipicu terdepresiasinya yen dan euro. Padahal untuk euro, sebetulnya punya pendukung untuk bertahan positif. Pasalnya, data-data manufaktur Perancis, Jerman dan Uni Eropa, pada November 2016 lalu tumbuh masing-masing ke level 53,5%, 55,5%, dan 54,9%.

“Memang semuanya menunjukkan pertumbuhan di level ekspansif yang mengindikasikan ekonomi Eropa mengarah positif. Tetapi nyatanya, pergerakannya kalah jauh dibandingkan USD,” tegas dia.

Sementara itu, sentimen domestik juga tak mampu menolong pola gerak rupiah. Sekalipun adanya rilis nraca perdagangan bulan November 2016 dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang tercatat surplus, tetap tak sanggup menolong rupiah.

Berdasar data BPS, surplus neraca perdagangan sebesar US$837,8 juta atau Rp 10,8 triliun dengan ekspor US$13,50 miliar dan impor US$12,66 miliar.

Reza menegaskan, kondisi saat ini sangat berpotensi untuk membuka peluang pelemahan lanjutan dari rupiah. Kendati pihaknya sendiri berharap, kondisi rupiah saat ini hanya sesaat, sehingga rupiah tidak melemah lebih dalam.

“Cermati berbagai sentimen yang ada. Sebelumnya, kami perkirakan sepanjang perdagangan hari ini, rupiah akan bergerak dengan rentang support di kisaran Rp13.408 dan level resisten di angka  Rp13.388. Itu angka yang optimis,” pungkasnya.

(Busthomi)

Artikel ini ditulis oleh:

Eka