Jakarta, Aktual.co — Sejumlah aktifis yang tergabung dalam Gerakan Nasionalisasi Migas (GNM), menyesalkan Pemerintah tidak bisa memaksa PT Freeport Indonesia membangun pabrik pemurnian (smelter) di Papua.

Koordinator Eksekutif GNM Muslim Arbi mengatakan, alasan Pemerintah tak mau mendesak Freeport membangun di Papua adalah karena nilai investasi pembangunan smelter sebesar US$2,3 miliar yang berkapasitas 2 juta ton per tahun itu, jika pembangunannya dipaksakan di Papua, dikhawatirkan akan rampung lebih lama oleh karena pembangunan smelter itu belum didukung sarana dan prasarana yang memadai di kawasan Papua.

“Mereka siap membangunnya hanya di lahan seluas 60 hektare milik PT Petrokimia Gresik. Akan tetapi rencana itu ternyata ditolak elemen masyarakat Papua. Bahkan, masyarakat Papua mengancam bakal mengusir Freeport dari Bumi Cenderawasih itu, seperti yang disampaikan Gubernur Papua Lukas Enembe usai bertemu dengan Presiden Jokowi pada 29 Januari 2015” kata Arbi dalam keterangan persnya di Jakarta, Senin (2/2).

Arbi mengaku, pihaknya sangat mendukung pernyataan dan ancaman Gubernur Papua tentang semua kekayaan alam, termasuk tambang diperuntukkan bagi kesejahteraan Papua.

“Maka dari itu, Freeport wajib membangun smelter di Papua. Kalau tak membangun di Papua, ancaman Gubernur Papua yang mempersilahkan Freeport keluar dari Papua, sangat tepat dan benar. Bahkan, bila Freeport menolak, Enembe bakal mengeluarkan peraturan daerah khusus. Isinya, antara lain menegaskan bahwa kekayaan alam Papua adalah milik masyarakat di sana, dan itu dijamin oleh konstitusi” terang dia.

Arbi bersama gerakannya, mendesak Presiden Jokowi, apabila Freeport belum mau juga membangun smelter di Papua, Pemerintah hendaknya menyiapkan anggaran untuk mengambil alih perusahaan yang memasarkan konsentrat mengandung emas, tembaga, perak serta uranium itu ke penjuru dunia.

“Jika Freeport tidak taat, nasionalisasi saja. Usir Freeport, dan Menteri ESDM Sudirman Said mundur!,” tandasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Eka