Jakarta, Aktual.co — Sejumlah Masyarakat Sipil yang tergabung dalam koalisi Publish What You Pay (PWYP) Indonesia mengusulkan dimasukannya klausul dana minyak bumi dan gas (Migas) dalam Revisi Undang-Undang Migas. Dalam pembahasan terkait Revisi UU Migas, dana minyak bumi dan gas akan ditujukan untuk kegiatan yang berkaitan dengan penggantian cadangan migas, pengembangan infrastruktur migas, pengembangan energi terbarukan dan stabilisasi harga minyak mentah internasional.

“Koalisi masyarakat sipil juga mengusulkan dana migas bersumber sekurang-kurangnya lima persen dari (1) penerimaan minyak dan gas bumi bagian negara, (2) jumlah tertentu dari hasil total produksi komersial yang disisihkan secara khusus di luar bagian Pemerintah dan kontraktor, dan (3) bonus-bonus yang menjadi hak pemerintah berdasarkan kontrak kerja sama dan UU ini,” kata anggota PWYP Indonesia sekaligus Direktur Eksekutif Article 33 Chitra Hariyadi dalam diskusi publik bertajuk ‘Peluang Penerapan Dana Sumber Daya Alam (Natural Resource Fund) di Indonesia’ di Hotel Sari Pan Pacific, Jakarta, Kamis (16/10).

Menurutnya, dalam diskursus keuangan publik ada yang dinamakan, Natural Resource Fund (NRF) yang merupakan salah satu bagian dari Sovereign Wealth Fund (SWF) yang mulai muncul pada sekitar 1950an di sejumlah negara di Timur Tengah. Pembentukan dana ini kemudian berkembang secara dramatis pada tahun 2000an akibat naiknya harga komoditas dunia dan juga munculnya negara-negara baru yang kuat secara ekonomi seperti China, Rusia dan Dubai yang masing-masing menciptakan SWF mereka sendiri.

Sementara itu, Economic Analyst, Natural Resource Governance Institute (NRGI) Andrew Bauer mengatakan, berdasarkan hasil studi yang dilakukan NRGI setidaknya terdapat enam alasan mengapa sejumlah pemerintah membentuk NRF. Pertama, adalah untuk mengatasi volatilitas anggaran negara setiap tahun akibat ketergantungan yang besar terhadap pendapatan sektor migas maupun minerba (pro-cylical spending).

“Ini terjadi karena harga pasar dunia yang cenderung tidak stabil dan akhirnya punya dampak terhadap perencanaan anggaran untuk jangka panjang,” kata Andrew.

Kedua, tabungan pendapatan sumber daya alam. Ketiga, untuk mencegah munculnya Dutch disease. Keempat, sebagai alokasi dana untuk investasi di sektor publik. Kelima, untuk mengamankan pendapatan sumber daya alam dari korupsi dan keenam, memiliki daya rawar politik yang lebih kuat baik pada tingkay daerah maupun pada tingkat internasional.

Dikatakannya, pada tahun 70an dan awal tahun 80an, Indonesia termasuk salah satu negara di dunia yang sangat tergantung pada pendapatan dari minyak dimana hampir 70 persen penerimaan negara pada waktu itu diperoleh dari sektor migas.

“Saat ini kontribusi sektor migas dan minerba terhadap pendapatan negara sekitar 25 persen dan menurut IMF, Indonesia masih tergolong negara yang tergantung terhadap Sumber Daya Alam (Resouce dependent),” ujarnya.

Sambungnya, fakta lain yang patut pula diperhatikan adalah rentannya proses anggaran negara setiap tahun yang masih sangat bergantung pada fluktuasi harga minyak dunia. Ini diperparah lagi dengan kenyataan bahwa sejak September 2008 Indonesia telah menjadi negara pengimpor minyak (Net Oil Importer) dengan keluarnya Indonesia dari OPEC karena jumlah produksi minyak dalam negeri yang menurun.

“Selain itu, Indonesia juga setiap tahunnya melakukan import BBM yang disubsidi dari anggaran negara yang naik setiap tahun. Beban anggaran untuk subsidi BBM terus melonjak naik dalam 10 tahun terakhir. Ini merupakan tantangan yang cukup besar untuk ekonomi Indonesia,” tutup Andrew.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Eka